pendidikan

Teori Praktek Perubahan Sosial Melalui Jalan Pendidikan

4:31 AM, October 10, 2023

Opini, Pendidikan

Admin Pimnas


Oleh : Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pilihan satu-satunya bentukan bangsa masyarakat Indonesia. Dengan bentuk wujud dan wajah NKRI lah bangsa masyarakat Indonesia mampu bertahan dan membendung segala bentuk penghisapan atas diri dan tanah airnya. Dalam pengertian, bangsa masyarakat Indonesia meyakini dan menyepakati bahwa dengan ada dan hadirnya sebuah institusi sosial tertinggi yang berupa negara, kepentingan bangsa masyarakat Indonesia baik itu berupa perlindungan dan keamanan, pemerataan kesejahteraan hingga pembangunan peradabannya yang berkemajuan dapat diwujudkan. Maka tidak hanya tenaga dan pikiran saja yang mereka (generasi sebelum kita) curahkan guna mewujudkan institusi sosial tertinggi tersebut. Melainkan keringat, air mata dan darah bahkan nyawa sekalipun berani mereka ikhlaskan demi mewujudkan bangsa negara masyarakat Indonesia yang merdeka.

Gerak jaman kemudian memang sedikit berpihak kepada pihak yang kalah, terhisap, terjajah dan terampas oleh cara-cara kolonialisme. Dimana semua bangsa negara masyarakat di dunia, tidak lagi bersepakat dengan adanya penjajahan (fisik) di atas muka bumi. akan tetapi, kenyataannya argumentasi semacam itu hanya upaya menanamkan kepercayaan kembali bangsa masyarakat terjajah (bekas jajahan) supaya dapat diarahkan kembali kepada tujuan lama (diperas dan diperdaya), dengan cara baru (imperialisme dan neo-kolonialisme) bangsa negara masyarakat penjajah. Dan fakta menunjukkan, bangsa negara masyarakat penjajah, telah berhasil merebut kembali dengan cara (halus) mereka atas bangsa negara masyarakat terjajah (bekas jajahan), termasuk kita, Indonesia.

Modernisasi (pembangunan ekonomi, budaya, hingga manusia) yang didiktekan serta dependensi akut (atas modal) terstruktur yang diskemakan, merupakan upaya mereka (bangsa penjajah) mengarahkan kembali bangsa terjajah kepada jalan lama dan tujuan lamanya. Disinilah titik tolak alasan, mengapa setelah Indonesia menyatakan diri kemerdekaannya, Soekarno mengatakan bahwa bangsa kita tidak boleh dihadiri oleh bangsa Neo-kolonialis maupun Imperialis. Sebab dua watak tersebut, sama-sama bertujuan untuk menindas dan menjajah kembali bangsa Indonesia. Neo-kolonialisme yang berorientasi menundukkan kedaulatan politik, sedangkan Imperialisme tidak lebih seperti VOC, menundukkan kemandirian ekonomi suatu bangsa negara masyarakat kita. Namun mereka memang menang telak. Mereka berhasil menancapkan kembali jangkar ‘kapal penjajahannya’ (dalam bentuk modal internasional, pengetahuan, budaya, produk konsumsi buatan mereka, hingga produk kebijakan versi mereka) di atas tanah air Indonesia.

Mulanya, tidak lebih dari Sumber Daya Alam (SDA) yang hendak mereka cerabut dari bangsa kita. Apapun upaya usaha mereka, mula-mula hanya bermotif untuk menguasai kembali SDA kita yang memang melimpah ruah –- sebuah nikmat Tuhan YME yang diberikan kepada kita, namun dikuasai dan dinikmati bukan oleh kita. Kita hanya bagaikan ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. Namun karena cara yang mereka gunakan membuat mereka menang telak, akhirnya tidak sekedar SDA yang dicerabut dari kita. Sendi-sendi ekonomi, seluruhnya dicerabut dari kita. Seluruh sendi yang dapat mengarahkan kita pada kesejahteraan dan kemajuan, dikuasai oleh mereka. Supaya kita tidak dapat sejahtera, maju dan berdaulat sampai batas waktu yang mungkin sukar dipastikan.

Tentang kemajuan. Dihambatnya kemajuan kita oleh mereka, meskipun mereka sendiri yang menyerukan modernisasi, adalah fakta sejarah. Layaknya, modernisasi suatu bangsa negara masyarakat, berangkat dari sejarah asli mereka – bukan cangkokan apalagi pemaksaan kehendak mereka. Namun realitanya sampai hari ini menunjukkan bahwa, kemajuan yang selama ini kita rasa dan arungi setiap saat, adalah hasil cangkokan dan pemaksaan mereka. Maka muncullah kemudian, istilah pembaratan atau westernisasi. Jikapun kemudian diantara kita mengalami kemajuan, entah menemukan pengetahuan baru maupun teknologi baru, mereka akan melakukan pembatasan bahkan pengrusakan. Sebab bagi mereka, kemajuan hasil dialektika kita dengan diri dan alam kita sendiri, tidak sesuai dengan keinginan mereka (guna mengarahkan kita kepada jalan dan tujuan lama). Dasar inilah yang menjadi alasan kuat bagi mereka untuk mengatur, mendikte dan menguasai sendi kehidupan (sosial budaya) masyarakat kita yang namanya pendidikan – selain belajar dari edukasi produk kebijakan politik etis kolonialis Belanda saat itu, yang ternyata malah banyak melahirkan anak haram bagi keberlangsungan politik etis. Dan nyata-nyata, dimulai dengan liberalisasi ekonomi, ditambah dengan masuknya pendidikan sebagai bidang jasa yang diliberalisasikan, menambah poin kemenangan yang mereka peroleh demi mengarahkan kita pada jalan dan tujuan lama mereka, menjajah dan memiskinkan kita di atas tanah air kita sendiri yang sungguh sebenarnya sangat kaya raya.


Praksis Gerakan Politik Kebudayaan Pendidikan

Poin kemenangan mereka atas diri dan tanah air kita, masih memungkinkan untuk kita rebut dan kuasai kembali. Merebut kembali kemenangan tersebut, adalah keharusan kita sebagai bangsa negara masyarakat Indonesia yang merdeka. Keyakinan akan teraihnya kembali kemenangan itu, adalah tongkat yang harus kita pegang sekuat-kuatnya sampai sejarah berhenti bergerak. Tentu tidak semudah pertandingan sepakbola yang berusaha keras menjebol gawang lawan yang tengah mendapatkan skor kemenangan sementara. Ingat, yang kita lawan bukan sekedar tim sepakbola dengan skema permainan tertentunya. Namun yang kita lawan adalah kerangka sistem yang digerakkan oleh, sekaligus untuk keuntungan beberapa pihak bangsa negara masyarakat yang tidak dapat kita jangkau dengan sekedar menggunakan panca indera. Maka kita harus betul-betul menemukan alat, cara, dan skema perlawanan yang paling tepat dan terukur, supaya kemenangan itu segera dan setuntas-tuntasnya dapat kita raih.

Alat, cara dan skema perlawanan yang paling tepat, adalah berdasarkan lokalitas kita dan kapasitas kita dalam melakukan perlawanan. Dalam artian, usaha merebut kembali kemenangan itu menunggu pada posisi politik apakah kita duduk, agama apa yang kita peluk maupun ideologi macam mana yang kita anut. Melainkan dimanapun dan dengan latar belakang apapun, perlawanan guna meraih kembali kenangan itu, harus tetap digencar lancarkan serangannya. Tentunya sembari terus menerus menempa kapasitas diri bersama-sama di dalam organisasi massa.

Saat ini, kita duduk sebagai mahasiswa dengan agama,  keimanan dan cara berpikir yang beraneka ragam. Akan tetapi semua diantara kita telah melihat bahwa, mereka yang menguasai diri dan tanah air kita, juga menguasai, mendikte, bahkan turut mencampuri urusan pendidikan masyarakat kita (guna menghambat kita mengalami kemajuan). Bahkan mereka menggunakan agen-agen dari kalangan masyarakat kita sendiri – yang tentunya telah diracuni terlebih dulu hingga dapat diajak untuk mengarahkan kita, bangsa Indonesia kepada jalan dan tujuan lama. Maka dari itu, harus kita ketahui bahwa upaya merebut kembali kemenangan itu, harus kita sesuaikan dengan proporsi ruang gerak dan kapasitas kita, yakni sebagai subjek pendidikan (mahasiswa). Artinya bahwa, ruang gerak kita juga harus kita bebaskan dari penguasaan mereka. Perjuangan pembebasan yang kita usaha lakukan melalui pendidikan sebagai ruang gerak kita sekaligus salah satu ruang kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, kita sebut sebagai Revolusi Pendidikan. Suatu teori dan praktik teori perubahan sosial melalui bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan masyarakat respublika, yang, di dalamnya meliputi berbagai rangkaian kerja gerakan politik kebudayaan melalui bidang pendidikan.


Gerakan Politik Pendidikan

Dalam mode perlawanan ini, daya serang lebih vertikal, dengan menggunakan bahasa-bahasa komunikasi politik. Hal itu digunakan dalam rangka memberikan tekanan politik melalui bidang pendidikan. Jika Michel Foucault pernah membicarakan tentang kuasa dan pengetahuan, dan realitasnya kuasa sekaligus pengetahuan bukan dipegang oleh kita sendiri, maka merebut kuasa dan pengetahuan dari mereka adalah visi tertinggi dalam Revolusi Pendidikan dengan mode gerakan politik pendidikan.

Pendidikan berkerakyatan, itulah tekanan politik kita dengan gerakan politik pendidikan yang kita lakukan. Berkerakyatan disini barangkali perlu ditafsirkan sesuai dengan paradigma berpikir kita terlebih dulu. Dimana menurut paradigma berfikir dan bertindak kita, kerakyatan memiliki dua perspektif. Pertama adalah kerakyatan dalam perspektif sipil. Yang kedua adalah kerakyatan dalam perspektif politik.

Pendidikan berkerakyatan yang kita usung tersebut harus pula mencakup dua perspektif tersebut. Jika kita bedah dua perspektif itu tadi, maka, pendidikan kita harus berkerakyatan dalam perspektif sipil, yang, artinya adalah, sejauh mana pendidikan kita mampu mengarahkan (masyarakat) kita menemukan kembali otentisitas sejarah dan pengetahuan aslinya supaya dapat dijadikan titik awal melakukan pemajuan peradabannya sendiri. Selain itu, dalam perspektif sipil, pendidikan berkerakyatan yang kita usung tersebut memaksakan pendidikan mampu mengertikan, memahamkan, hingga membekali diri (masyarakat) kita bagaimana berkemampuan dan berdaulat atas sumbu sosial ekonomi kita (termasuk akses pendidikan pula). Sedangkan pendidikan berkerakyatan dalam perspektif politik, yang kita maksudkan adalah sejauh mana pendidikan mampu mendekatkan (masyarakat) kita terhadap negara dan kemajuannya. Mendaulatkan politik dan negaranya, guna menjadi negara yang mampu membawakan kemerdekaan, keadilan kesejahteraan, dan kewibawaan budaya bagi seluruh rakyatnya.


Gerakan Kebudayaan Pendidikan

Alasan mengapa kita harus pula melakukan gerakan kebudayaan pendidikan, adalah kenyataannya, lawan kita telah berhasil pula membentuk budaya melalui pendidikan yang selama ini diselenggarakan untuk kita – seperti yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci dan Paulo freire. Gerakan kebudayaan pendidikan yang dimaksudkan tersebut adalah praksis kerja gerakan yang membudaya dalam diri dan organisasi massa kita. Pengorganisiran dan pengorganisasian adalah praksis kebudayaan yang terus menerus harus kita laksanakan. Dimana di dalam praksis kebudayaan tersebut, pendidikan bercorak ideologisasi mengenai kondisi situasi yang terjadi di dalam bidang pendidikan kita laksanakan pula. Mengisi lumbung pengetahuan yang melompong (khususnya di lingkungan perguruan tinggi), adalah cakupan bentuk ideologisasi yang kita laksanakan.

Hal ini tidak akan mudah ketika kita tidak memiliki kebebasan atau kemerdekaan di lingkungan perguruan tinggi – selain nalar kreatifitas kita dalam melakukan kerja gerakan kebudayaan pendidikan yang kita miliki. Apalagi secara nyata, seperti yang telah diungkap sebelumnya, tidak jarang lawan kita membatasi upaya kita melakukan kerja yang menuju ke kemajuan. Baik itu melalui regulasi kebijakan, maupun aparat konservatif yang dibayar oleh mereka – sebagaimana yang diungkapkan oleh Louis Althusser.

Apabila kita kumpulkan kembali, Gerakan Politik Kebudayaan Pendidikan sebagai keumuman rangkaian strategi taktik revolusi pendidikan, maka memberikan maksud kepada kita untuk :

Terus menerus melakukan pengorganisiran dan pengorganisasian massa

Mengisi lumbung kosong pengetahuan masyarakat (khususnya di lingkungan perguruan tinggi bahkan seluruh jalur, jenjang dan jenis pendidikan)

Mendorong semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, menganut politik pendidikan berkerakyatan

Merebut kuasa atas alat produksi pengetahuan yang berupa sejarah dan pengetahuan asli bangsa negara masyarakat Indonesia

Mendorong terwujudnya semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang demokratis

Mendorong organisasi massa di dalam ruang gerak semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan merebut negara dari penguasaan pihak luar

Mengawal berjalannya sejarah pengetahuan yang berpihak dan setia kepada kemanusiaan (rakyat Indonesia)

Adapun komunikasi politik yang kita gunakan, dalam rangka mempropagandakan dan mengagitasi masyarakat kita di lingkungan pendidikan terkhusus di lingkungan perguruan tinggi adalah :

Wujudkan demokratisasi pendidikan dan pengajaran (kampus)

Wujudkan pendidikan murah untuk rakyat

Wujudkan kurikulum pendidikan bervisi kerakyatan

Student Government yang revolusioner

Hapus segala regulasi kebijakan pendidikan yang tidak berpihak kepada rakyat

Ketiga ini merupakan inti persoalan yang dapat diperluas cakupan dan muatan politisnya sejauh kondisi dan situasi yang melingkupi serta membawa dampak kelanjutannya. Maka tugas kita adalah memahami situasi pendidikan, membekali diri dan melakukan kerja gerakan politik kebudayaan pendidikan, guna mewujudkan Revolusi Pendidikan Sebagai Pintu Gerbang Kemerdekaan Seratus Persen Bangsa Negara Masyarakat Indonesia.

“Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan;

Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan”