hak-air

Menyoal Penguasaan Negara dalam Pemenuhan Hak Rakyat Atas Air

5:22 AM, October 09, 2023

Opini

Admin Pimnas


Tentu kita akan menyepakati bahwa air merupakan kebutuhan dasar bagi makhluk hidup di muka bumi ini, termasuk manusia. Bahkan ada adagium yang menyatakan; dimana ada air, di sana ada jaminan keberlangsungan hidup manusia. Menurut beberapa peneletian menyebutkan bahwa zat pembentukan dari tubuh manusia terdiri dari 55%-78% air, tergantung ukuran badan (http://id.wekipedia.org/air/). Oleh karenanya, akses kepada air adalah hak asasi yang dimiliki manusia sejak lahir di muka bumi[1].

Keberadaan air sesungguhnya merupakan karunia dari Allah Subhanahuwata’ala Yang Maha Esa yang patut dijaga, dikelola, dan dilestarikan demi keberlangsungan hajat hidup manusia. Air merupakan barang publik (res commune/common good) yaitu hak yang dimiliki masyarakat secara bersama-sama. Artinya, tidak ada seorang pun yang berhak memonopoli atau bahkan menghalang-halangi manusia untuk mengakses dan memperoleh air dengan cukup, aman, dan dapat diperoleh secara fisik, serta dapat menjangkaunya untuk penggunaan pribadi atau kebutuhan rumah tangganya[2].

Air sangat berhubungan dengan hak hidup manusia, sehingga air tidak dapat dipisahkan dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM). Ini sejalan dengan semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan dilanjutkan pada tahun 1966, dengan pemberlakuan International Covenants on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Disana air memang tidak disebutkan secara eksplisit sebagai hak asasi, tetapi disebutkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi yang telah disepakati yaitu hak untuk hidup, hak untuk kehidupan yang layak, hak untuk kesehatan, hak untuk perumahan dan hak untuk makanan[3]. Hal ini pulalah yang kemudian diakomodir dalam perubahan (amandemen) kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang terdapat dalam pasal 28H ayat (1)[4].

Namun meskipun dalam tataran idealnya (das sollen) adalah demikian, ternyata dalam praktik (das sein) kita seringkali menjumpai di berbagai tempat masih jauh dari keinginan-keinginan atau bahkan nyaris (jika tidak mau dikatakan tidak sesuai) bertentangan dengan cita-cita yang diamanatkan konstitusi. Ambillah sample kondisi air di pegunungan Muria pada tahun 2015, yang di eksploitasi secara berlebihan (oleh pihak swasta) yang telah mengakibatkan kekeringan di area pegunungan tersebut, sehingga menyebabkan masyarakat terhalangi aksesnya terhadap air (diambil dari berita Tempo). Inilah gambaran dan dampak nyata bahwa komersialisasi, swastanisasi, dan privatisasi air telah menggeser kedudukan air dari res commune/common good yang bernilai sosial menjadi barang komoditas yang lebih bernilai ekonomis.

Rakyat sebagai Pemilik Air

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa air merupakan kebutuhan dasar manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, serta air merupakan barang publik (res commune) yang dapat di akses oleh ‘semua’ masyarakat secara bersama-sama. Dengan kata lain, kepemilikan air bersifat kolektif.

Sebagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa; “Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan ber-negara, sesuai dengan doktrin ‘dari, oleh, dan untuk rakyat’. Kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.”[5]

Kepemilikan rakyat atas air juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan bahwa; “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.” Landasan hukum inilah yang menegaskan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Kedua, hubungan bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi.[6]

Kewajiban Negara Atas Air

Pertumbuhan perindustrian air minum dalam kemasan (AMDK) mengalami peningkatan pesat di Indonesia.[7] Tercatat pada tahun 2016 ada 700 industri air kemasan (ASPADIN, diakses pada 2 Maret 2017). AMDK menjadi ladang bisnis yang cukup menggiurkan mengingat konsumsi air semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk.

Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/ 2013 yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA). UU a quo memberi legitimasi tentang Hak Guna Usaha Air (HGUA) kepada pihak swasta. UU itu pulalah yang merekontruksi nilai air yang merupakan barang publik menjadi komoditas ekonomi yang dapat dikuasi oleh sekelompok individu atau badan usaha. Air yang sebelumnya memiliki nilai sosial direduksi menjadi barang komoditas yang dikomersialkan untuk mendapatkan keuntungan besar bagi para pemegang saham dengan prinsip profit oriented. Hal inilah yang kemudian dinilai bertentangan dengan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta menunjukkan lemahnya penguasaan negara terhadap air. Pola pembatasan swastanisasi air yang tidak tegas dalam UU tersebut lah yang justru menabrak cita-cita mulia terwujudnya “sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Selanjutnya, dampak sosiologis privatisasi dan monopoli hak atas air oleh pihak swasta dapat membuka peluang terjadinya diskriminasi dalam mengakses kebutuhan atas air. Privatisasi akan mendorong sebagian orang dapat memperoleh air minum yang berkualitas, sementara sebagian besar lainnya kesulitan untuk mengakses dan menjangkau secara layak. Karena itu, penguasaan dan pengusahaan negara terhadap air sangat penting demi menjamin keadilan dan kesejahteraan bersama.

Sebagaimana pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Atas dasar inilah secara landasan konstitusional bagi negara untuk menguasai (bukan sebagai pemilik/ dominuum) air dalam mengelola, mengatur, menata, dan memanfaatkan yang peruntukannya demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, apabila negara Indonesia tidak menjalankan amanah konstitusi tersebut, maka negara ini dapat dikatakan inkonstitusional[8].

Dalam rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, terdapat kepentingan yang dilindungi konstitusi dan karena itu penting ditegaskan adanya penguasaan oleh negara. Kepentingan yang hendak dilindungi oleh konstitusi adalah kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya.[9] Tolak ukur sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33 ayat (3) tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2010 bahwa; “dengan adanya anak kalimat ‘dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, maka sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”[10]

Hak rakyat atas air menyiratkan adanya tanggungjawab dari negara untuk memenuhinya. Artinya, tanggungawab negara terhadap persoalaan air bukan serta-merta hanya karena adanya ketidaksemertaan air bagi setiap warga negara untuk memperoleh air, melainkan lebih kepada adanya mekanisme yang tegas dan jelas bagaimana negara akan mengupayakan akan ketersediaan air dan terutama langkah-langkah untuk menjamin akses tersebut.[11] Dengan demikian, perlu adanya reformulasi dan maksimalisasi kinerja intitusi negara yang bergerak di bidang per-air-an.

Pasca Putusan MK Nomor 85/PUU-IX/2013

Hasil pengujian (judicial review/contitutional review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tantang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membatalkan keberlakuan secara keseluruhan UU a quo karena di nilai UU No. 7/2004 tersebut belum menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air.

Sebagai konsekuensi hukum, Mahkamah Konstitusi memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mengisi terjadinya kekosongan hukum. Namun permasalahannya, UU 11/74 tentang Pengairan tersebut juga tidak mengatur tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak rakyat atas air, serta tidak mengatur prinsip pembatasan pengusahaan air. Padahal klausul itulah yang digunakan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU SDA inkonstitusional.[12]

Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) setidaknya terdapat 6 (enam) prinsip dalam pembatasan pengusahaan air, yakni sebagai berikut;

Pertama, setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;

Kedua, Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;

Ketiga, Harus mengingat kelestarian hidup;

Keempat, Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara;

Kelima, Sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup prang banyak, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.

Apabila dalam pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan penguasahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.[13] Inilah prinsip ke-enam dari pendapat Mahkamah Konstitusi yang memberikan peluang kepada swasta untuk mengelola air apabila negara telah berhasil menjalankan lima prinsip sebelumnya.

Belum tegasnya pengaturan dan pembatasan dalam UU Nomor 11/74 inilah, harapannya segera dibentuk Undang-Undang yang baru guna merealisasikan pemenuhan dan perlindungan hak rakyat atas air. Karena itu, peran pengawalan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah (eksekutif) dalam pembetukan undang-undang yang baru sangatlah perlu. Agar pihak yang berwenang dalam hal legislasi bisa mendengar segala kepentingan rakyat akan air dan menghasilkan produk hukum yang benar-benar responsif-aspiratif.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Swastanisasi air menurut pendapat MK sebagaimana disebutkan di atas memberikan peluang kepada pihak swasta untuk melakukan pengusahaan air. Pengusahaan yang dimaksud diberikan ketika institusi negara yang berwenang mengelola air telah berhasil melakukan pengusahaan dengan baik. Namun pada kenyataannya, pengusahaan dan penyediaan air yang dilakukan institusi negara seperti BUMN dan BUMD hari ini belumlah bekerja secara maksimal.

Ukuran dari ketidak maksimalnya pengusahaan air yang dilakukan oleh institusi negara tersebut dapat kita lihat dari semakin menjamurnya perusahaan air swasta di negara ini. Selain itu, sejarah mencatat bahwa beberapa intitusi negara (BUMN/BUMD) yang berwenang mengusahakan ketersediaan air kepada rakyat belumlah melaksanakan kewajibannya demi kepentingan umum. Justru dalam internal lembaga itu sendiri terjadi dominasi keuntungan oleh pihak yang menjalankan tugas pemerintahan di bidang itu.

Melihat dari kenyataan tersebut, jatuhlah pada suatu kesimpulan; pihak swasta tidak boleh menguasai (monopoli) dalam pengelolaan air. Penyediaan air harus dimaksimalkan melalui institusi negara atau pengelolaan air harus berada di bawah kendali penguasaan dan pengusahaan negara. Untuk itu, yang harus diperhatikan dalam menyikapi hal ini adalah, siapapun penyedia air harus dianggap sebagai lembaga kepanjang-tangan negara.

Eksploitasi Air dan Keduguan Negara

Air adalah salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan. Lewat air kehidupan dan keberlangsungan ekosistem dapat berlangsung. Oleh sebab itu, air adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan. Dan negara sebagai lembaga tertinggi sudah seharusnya melindungi air dari kerakusan manusia yang tak terbendungkan, untuk kepentingan dan kemakmuran seluruh rakyat, bukan satu atau segelintir golongan saja.

Kapitalisasi dalam hal air ini jelas terasa di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang di buat negara sudah lagi tak mencerminkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, seperti di paparkan diatas, celah-celah swastanisasi air sengaja di beri ruang agar perusahaan air dengan gampangnya meng-eksploitasi air di Indonesia. Dalam konteks ini negara menjadi sarana borjuasi internasional maupun nasional untuk melancarkan eksploitasi atas air.

Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan lima negara penghasil air paling banyak, sekitar enam persen cadangan air bersih dunia ada di Indonesia. Cadangan yang melimpah inilah yang dijadikan sasran empuk perusahaan Multinasional dari seluruh dunia. Salah satu yang terbesar adalah Aqua Danone, yang 74 % dikuasai korporasi asal prancis. Perusahaan tersebut memiliki 14 pabrik dan memonopoli puluhan sumber mata air, tahun 2001 hingga 2008, Aqua Danone telah menyedot lebih dari 30 Milyar liter air bersih dan menguasai 80 % penjualan Air Minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia.

Selain Aqua Danone, ada 246 perusahaan AMDK yang beroprasi di Indonesia. Menurut data ASPADIN (Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia) terdapat 50 % air yang terbuang percuma. Dalam setahun perusahaan AMDK membutuhkan 11,5 Miliar liter air bersih, namun yang menjadi produk hanya 7,5 miliar liter pertahun, sisanya terbuang percuma untuk proses pencucian dan pemurnian. [14]

Jika hal ini tetap dibiarkan, dan negara tak kunjung hadir untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, maka akan terus selamaya rakyat kecil akan kesusahan untuk akses air bersih, sebab komersialisasi air berarti menghalangi rakyat untuk menggunakan air untuk kemakmuran. Sekali lagi negara harus hadir ditengah-tengah rakyat!. []

“Tak ada seruan yang paling mulya dari pada seruan tentang kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Dan tidak ada seruan yang lebih menyedihkan dari pada seruan tentang ketidaksejahteraan dan penindasan. Hidup RAKYAT Indonesia !!!”

Nofan Atmadja, Divisi Pendidikan dan Pelatihan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KeMPeD), Basis mahasiswa FPPI periode 2017-2018.

Catatan Akhir

[1] Diambil dari Naskah Akademik RUU tentang Air yang disusun oleh Tim KruHA bersama anggota dan jaringan kerja Hak Atas Air

[2]Majalah Konstitusi, Edisi Maret 2015, hal. 5

[3] Arinto Nurcahyono dkk., “Hak Atas Air dan Kewajiban Negara dalam Pemenuhan Akses terhadap Air”, MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015):389-398). Hal. 391

[4]Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

[5] Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008, hal. 5

[6] Naskah Akademik RUU tentang Air

[7] Majalah Konstitusi, Edisi Maret 2015, hal. 3

[8] Dalam suatu pengatar buku yang ditulis Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta, STPN Press: 2014)

[9] Risalah Sidang Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, Perkara Nomor 22/PUU-V/2007

[10] Naskah Akademik RUU tentang Air

[11] Arinto Nurcahyono dkk., “Hak Atas Air …”, MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015):389-398). Hal. 395

[12] Naskah Akademik RUU tentang Air

[13] Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013, hal. 109

[14] membunuhindonesia.net/2015/01/privatisasi-air-di-indonesia-mengkhawatirkan