justice-image

Menimbang Keadilan dalam Pancasila terhadap Politik Hukum Pembuatan Undang-Undang

5:17 AM, October 09, 2023

Opini

Admin Pimnas


Diskursus tentang keadilan memang selalu menjadi topik paling menarik untuk dibicarakan, bukan hanya dibicarakan, melainkan juga diperjuangkan, apalagi bagi para pencari keadilan (justitiabelen). Tentu kelahiran diskursus ini tidaklah berangkat dari ruang hampa, melaikan berangkat dari ketidakpuasan masyarakat atas arah kebijakan hukum yang dibuat oleh pihak berwenang (legislator), sampai pada pola pelaksanaan hukum itu sendiri yang terindikasi diskriminatif. Pada waktu yang bersamaan, masyarakat sering kali mempertanyakan, adakah saya menemukan keadilan dalam hukum?

Demikianlah ketika hukum kehilangan roh-nya yaitu keadilan, sehingga dalam penegakannya hukum tampil dengan sepatu boot-nya yang setiap saat menginjak rasa keadilan masyarakat melalui anarkisme-nya yang bekedok kepastian hukum dalam positivisme yang mengkultuskan Undang-Undang.[1] Menjadi niscaya kemudian bila masyarakat yang mendapati kenyataan tersebut mulai menaruh ketidakpercayaanya terhadap hukum, karena dalam tataran praksisnya sering dijumpai hukum hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Hukum kadang kala tidak menyentuh lapisan bawah yang membutuhkan perlindungan, kecuali kehadirannya sebagai pe-melaratisasi rakyat jelata.

Hukum dalam konteks Indonesia yang menganut prinsip demokrasi ‘wajib’ menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang di dalamnya secara prinsipil berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera.[2] Dengan demikian, dapat disintesiskan bahwa keadilan harus terwujud dalam semua lini kehidupan, utamanya produk-produk manusia dalam bentuk kaidah/norma yang akan difungsikan sebagai tatanan kehidupan. Karena setiap perilaku berikut produk normatifnya yang dipositiviskan tidak mengandung nilai-nilai keadilan niscaya akan mengakibatkan kerusakan baik terhadap diri manusia itu sendiri maupun terhadap alam semesta.[3]

Bahkan dalam butir Pancasila, terdapat dua sila yang secara eksplisit menyebutkan tentang prinsip keadilan, yakni terdapat pada sila kedua dan kelima. Hal inilah yang kemudian menjadi penegasan kepada pelaku-pelaku hukum untuk berlaku adil dan mampu mewujudkan keadilan itu bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pancasila yang merupakan staats fundamental norm[4] harus menjadi landasan ideal dan corong utama dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia.

Keadilan dan Hukum

Dalam lintasan sejarah peradaban manusia diketahui bahwa keadilan merupakan salah satu nilai (velue) yang diagung-agungkan, dicari, dan diimpikan semua orang. Bukan saja karena keadilan merupakan konsensus moralitas yang lahir dari hati nurani manusia, melainkan keadilan memang merupakan konsep yang turun dari langit.[5] Menjadi wajar kemudian apabila dalam beberapa kesempatan terjadi gejolak di tubuh masyarakat ketika nilai yang mereka cita-citakan itu tidak hadir akibat adanya dominasi kepentingan segelintir orang yang dibungkus dalam logika kepastian hukum.

Menurut Mahfud MD, apabila dalam suatu undang-undang tidak ditemukan suatu keadilan, maka hakim boleh untuk mendeponir undang-undang itu demi mencari dan memberikan sebuah keadilan, karena tak selamanya undang-undang bersifat adil[6]. Artinya, dalam penegakan hukum tidak senantiasa hanya mempostulasi teks-teks semata, melainkan harus lebih radikal memahami dan mengafirmasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Demikianlah betapa pentingnya keadilan yang senantiasa harus dijunjung tinggi dalam negara kita yang menganut prinsip supremasi hukum ini.

Namun pada faktanya, supremasi hukum yang didengungkan dimana-mana ternyata hanyalah manipulatif dalam wujud mengkultuskan undang-undnag yang berdalilkan kepastian. Keberadaan negara belum mampu memberikan jaminan hadirnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang memiliki jiwa keadilan serta tegaknya hukum yang berbasiskan pada prinsip keadilan.

Sejalan dengan gagasan Satjipto Rahardjo, Hukum Progresifnya menolak adanya pemberlakuan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan sebagai institusi yang bermoral. Karena hukum yang mempertimbangakan aspek moral kemanusaian akan menjamin terciptanya hukum yang pro-rakyat dan pro-keadilan.[7] Hukum yang baik (pro keadilan) seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari pada sekadar keadilan prosedural, melainkah hukum harus mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substansial.[8]

Hukum dan keadilan pada hakikatnya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, melainkan saling bertautan. Hukum harus dikonsepsikan atas dasar keadilan, sementara keadilan menjadi roh dalam pembuatan hukum itu sendiri. Hukum dan keadilan harus berjalan secara simultan sehingga kita tidak dapat lagi mendeteksi yang mana hukum dan yang mana keadilan. Ketika menegakkan hukum, niscaya keadilan secara otomatis terwujud, dan sebaliknya saat keadilan bisa diwujudkan, pada saat itu pula hukum tegak dengan sendirinya[9].

Pancasila sebagai Kaca Spion Pembuatan Undang-Undang

Ajaran yang terkandung dalam Pancasila dipuji oleh filusuf Inggris, Bertrand Russel, sebagai sintesis kreatif dari Declaration of American Independence (ideologi demokrasi kapitalistik) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis).[10] Pancasila merupakan hasil konsensus para founding people[11] yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa ini, dan merupakan warisan terbaik para pendiri bangsa tentang politik harapan (political of hope). Bahwa republik ini berdiri di atas dasar harapan merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hingga kita sebagai generasi bangsa mempunyai tanggungjawan untuk menyiapkan diri dalam mengambil sikap dan tindakan guna menentukan masa depan bangsa dan negara ini menuju cita ideal yang disematkan dalam Pancasila.

Pancasila yang merupakan pandangan hidup berbangsa dan bernegara, sudah semestinya dalam penyelenggaraan negara menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam mencapai cita-cita luhurnya. Utamanya sekali dalam hal pembuatan undang-undang harus dikonsepsikan dari landasan ideal dasar negara Indonesia. Jika hukum merupakan produk politik atau sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh),[12] maka sudah semestinya dalam pembuatan hukum tersebut tidak keluar dari orbit staats fundamental norm-nya.

Dalam kaca mata konfigurasi politik pembuatan undang-undang, setidaknya ada dua teori yang dikemukakan beberapa ahli. Pertama, proses pembuatan undang-undang yang memberi peluang besar terhadap patisipasi masyarakat akan melahirkan sebuah produk hukum yang responsif terhadap tuntutan masyarakat. Kedua, hukum yang konservatif/ortodoks/elitis merupakan produk hukum yang muatan isinya lebih mencerminkan visi politik, keinginan penguasa, dan sifatnya cenderung positivis-instrumentalistik.[13] Tentu sebagai cita hukum yang diamanatkan dalam Pancasila, seharusnya produk hukum yang dihasilkan penguasa harus benar-benar responsif.

Masalah yang hadir kemudian adalah maraknya produk hukum yang dihasilkan legislator seringkali tidak mencerminkan keadilan. Hal ini terbukti dari jamaknya perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu ini bukanlah suatu keniscayaan bahwa karena negara kita menganut prinsip checks and balance, melainkan ini sebagai bukti riil gagalnya pihak yang memproduksi undang-undang tidak mampu mensinergikan antara hukum dengan nilai-nilai Pancasila yang diderivasikan ke dalam UUD NRI 1945. Kemungkinan adanya kekeliruan atau kekurangan-tepatan dalam memahami (understanding) fundamental norm tersebut, akhirnya kelahiran hukum tidak dapat diarahkan pada tujuan yang benar.[14]

Satjipto Rahardjo dalam gagasannya menegaskan bahwa hukum dibuat untuk melayani manusianya, bukan sebaliknya, bahkan menurut B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum untuk seluruh makhluk hidup. Dalam artian, rasa keadilan masyarakat itu yang harus didahulukan dari pada mengejar kepastian hukum, atau jangan sampai rasa keadilan masyarakat itu tereduksi oleh teks-teks yang terbakukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, pemahaman dan laku secara radikal terhadap Pancasila sangatlah penting, utamanya bagi produsen hukum. Atau bahkan bisa dikatakan Pancasila harus dijadikan kaca spion dalam pembuatan undang-undang, dalam artian Pemerintah dan DPR tidak hanya mengorientasikan kepentingan politik, melainkan harus melihat kedaan-keadaan yang terjadi dimasyarakat. Tujuannya adalah agar hukum tidak hadir dengan sifatnya yang elitis melainkan dapat memberikan dan menciptakan kehidupan masyarakat yang berkeadilan substansial.

Pancasila sebagai Kritik Kebijakan Negara

Jika pancasila merupakan kesepakan final, maka pertanyataan yang harus dilontarkan adalah bukan masalah relevankah pancasila dengan kehidupan bangsa dan negara hari ini, melainkan sejauh mana nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila mampu dipratekkan oleh pemangku kekuasaan di negeri ini?. Inilah yang seharusnya menjadi pertanyaan kita bersama ketika melihat kebijakan penguasa yang cenderung mengeliminasi keadilan rakyat.

Namun masalahnya, sejauh ini masyarakat masih terjebak pada isu-isu yang sebenarnya tidak menyentuh pada persoalan substansial, melainkan termobilisir pada kepentingan politik yang berkedok Pancasila. Inilah yang menjadi kelemahan kita selaku masyarakat yang tidak mampu menjadikan Pancasila sebagai kendaraan kita sendiri, sebagai kendaraan untuk mencapai cita-cita luhur kemanusian, kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran. Bahkan lebih mirisnya lagi masyarakat yang pesimistif terhadap Pancasila dengan alasan karena “Pancasila milik penguasa”. Sikap inilah yang seharusnya dibuang dan mempertegas diri bahwa Pancasila sebagai pedoman serta kritik atas kebijakan negara apabila terindikasi menyimpang.

Satu hal lagi, jamaknya perkara yang diajukan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap UUD 1945, mengindikasikan kegagalan legislaor, sekali lagi kegagalan legislator. Pihak yang diberi kewenangan membentuk undang-undang ternyata belum mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya dan sarat kontradiksi dengan semangat konstitusi. Fakta empirisnya, banyak produk peraturan perundang-undangan yang akhirnya dibatalkan oleh MK karena memang bertentangan dengan konstitusi yang memuat prinsip keadilan. Ambil lah contoh Putusan MK Nomor 85/PUU-IX/2013 yang membatalkan UU SDA (Sumber Daya Air) atau Putusan nomor 3/PUU-VIII/2010 yang memutus pasal-pasal dalam UU No. 27 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Oleh karena itu, catatan sejarah ini jangan hanya dimaknai sebagai kewajaran dalam perjalan ketatanegaraan negara kita ini, melainkan dijadikan sebagai refleksi. Hemat penulis dari masalah yang disebutkan di atas tentang pengujian undang-undang ke MK sebenarnya juga merupakan kritik terhadap kebijakan negara, namun dalam hal ini melalui “kritik prosedural” yang sesuai dengan prinsip Negara Hukum sebagaimana diamanatkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NKRI 1945.

Nofan Atmadja, Divisi Pendidikan dan Pelatihan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KeMPeD), Basis mahasiswa FPPI periode 2017-2018.

Catatan Akhir

[1] Marilang, “Menimbang Paradigma Keadilan hukum Progresif”, JURNAL KONSTITUSI, Volume 14. Nomor 2, juni 2017. Hal. 316

[2]Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea keempat. “…dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”

[3] B. Arief Sidharta, terkutip dari MYS, Menggali Karakter Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 4 Maret 2017

[4] Staats fundamental norm (norma fundamental negara) merupakan istilah yang digunakan Hans Nawiasky dengan teorinya tentang Jenjang Norma Hukum (Die theorie von stufenordnung der rechtsnormen) sebagai pengembangan dari teori Hans Kelsen tentang Jenjang Norma (stufentheorie). Dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara.

[5] Marilang, “Menimbang Paradigma Keadilan hukum Progresif”, JURNAL KONSTITUSI, Volume 14. Nomor 2, juni 2017. Hal. 316

[6] Ibid., hal. 318

[7] Nofan, Hukum Progresif: Studi Analisis Pemikiran Satjipto Rahardjo.

[8] Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Progresif, Nusa Media, Bandung: 2015. Hal. 84

[9] Marilang, “Menimbang Paradigma Keadilan …” Hal. 316

[10] Yudi Latif, Negara Paripurna, PT Gramedia, Jakarta: 2015. Hal 48

[11] Penulis lebih menggunakan istilah tersebut karena dalam keterlibatan sidang BPUPK tidak hanya dari kaum adam.

[12]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia., PT RadjaGrafindo, Jakarta: 2017. Hal. 10

[13]Moh. Mahfud MD dalam salah satu pengantar buku yang ditulis Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia .

[14] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, Jakarta: 2010. Hal. 45

sumber gambar : http://www.google.com