Hak Cipta: Alexandr Dubovitskiy

Komersialisasi Pendidikan dan Masalah Setelahnya

7:21 AM, October 22, 2023

Opini

Admin Pimnas


Beberapa waktu lalu, saat tulisan ini mulai digarap, di kanal media Asumsi.co ada tulisan menarik dari Raka Ibrahim tentang staf khusus (stafsus) milenial yang awalnya digadang-gadang merepresentasikan suara angkatan muda di Indonesia, tapi justru sebaliknya. Tulisan itu berjudul, “Kami Nggak Perlu Inspirasi dan Kalian Perlu Belajar Mendengarkan.”

Pada masa awal pandemi covid-19 di Indonesia, mereka, stafsus milenial itu, justru membuat kegaduhan masing-masing. Ada yang memanfaatkan situasi untuk melebarkan sayap bisnisnya, ada yang terlibat konflik kepentingan, dan ada yang tidak berhenti mendongeng. Yang tidak ada hanya kontribusi mereka.

Para stafsus ini, sering sekali mendongengkan kesuksesannya di masa muda, diawali dengan setumpuk dongeng tentang penderitaan saat kuliah, tentang bagaimana mereka bisa kuliah di luar negeri, dan dongeng-dongeng lain yang membuat sudut pandang tentang pendidikan menjadi sangat monoton dan linier. Singkatnya, mereka ingin bilang; “sekolah aja yang bener, ga usah banyak protes, biar cepet kerja, dan sukses.”

Pendidikan seolah-olah selalu dihidangkan dalam bentuk yang manis, dan imut-imut, misalnya ada masalah, pasti dikemas dengan model drama cinta sinetron, intinya memuaskan. Padahal pendidikan tidak hanya dongeng tentang orang-orang hebat, pesohor, atau barangkali orang tua kita sendiri. Mari kita tengok “wajah” pendidikan dari sudut pandang yang lain.

Berbicara tentang komersialisasi pendidikan, kita tidak bisa melepaskannya dari sistem liberalisasi pendidikan. Mungkin ini sebab dari beberapa kawan kita tidak bisa lanjut kuliah karena biaya. Garis besarnya, kapitalisasi pendidikan merupakan sistem yang sudah lama di proklamirkan oleh borjuasi dalam struktur ekonomi kapitalisme.

Singkatnya, kapitalisasi pendidikan adalah bentuk liberalisasi pendidikan yang dikuasai oleh pihak swasta, berorientasi pada sistem pasar yang berpegang teguh pada hukum permintaan dan penawaran (supply-demand). Hematnya, pemerintah akan memberikan peluang bagi investor maupun pemodal, untuk menguasai institusi yang paling vital bagi masyarakat luas. Seperti bermain di Bursa Efek Indonesia, pendidikan akan dijadikan lahan menggiurkan untuk mengeruk rupiah sebanyak-banyaknya bagi pemodal.

Soal peliknya dunia pendidikan bisa dilihat dari banyaknya kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak mahasiswa, di lain sisi juga banyak digunakan sebagai alat pengeruk keuntungan. Terlihat jelas pemerintah kita mengekor kepada pemilik modal dan perlahan menggadaikan masa depan pendidikan Indonesia. Misalnya melalui UU. No. 11 tentang Penanaman Modal Asing, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, UUPT, Perpres Nomor 36 Tahun 2005, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), dan seterusnya.

Kita tahu pendidikan adalah hal yang sangat vital dan mendasar bagi masyarakat dalam suatu negara. Dalam hal ini, pendidikan seharusnya menjadi alat perlawanan, perjuangan, dan penyadaran. Jika terus dalam kondisi seperti ini, hakikat pendidikan yang suci akan hilang, beralih fungsi menjadi pabrik buruh-buruh baru.

Seperti kita ketahui, hampir semua aspek kehidupan masyarakat mulai dari tatanan sosial hingga kompetensi penyaringan angkatan kerja ditentukan jenjang pendidikan, hal itu membuat setiap orang membutuhkan pendidikan, demi menunjang diri untuk persaingan sosial.

Paulo Freire mengatakan, bahwa pendidikan adalah alat pembebasan dari segala sesuatu yang membelenggu. Bisa pembebasan dari buta huruf atau pembebasan atas kebodohan. Sebab kita tahu, dimana ada kebodohan disitu pasti ada penindasan.

Namun lewat UUPT 2016, undang-undang yang mengatur otonomi kampus secara mandiri memfungsikan negara hanya sebatas pengawas saja. Yang terjadi kemudian, kampus menempatkan mahasiswa sebagai konsumen dan melakukan berbagai hal atas nama keberlangsungan kampus yang lebih baik, bisa menaikan biaya kuliah dan kebijakan ngawur lainnya. Jelas dengan harga pendidikan yang semakin mahal, pendidikan akan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Padahal jelas tertuang didalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat bahwa, “Negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Singkatnya, masyarakat membutuhkan kebijakan yang pro pada rakyat, utamanya pendidikan demi membangun dunia pendidikan yang sesuai dengan amanat undang-undang dasar.

Secara mikro historis, kapitalisasi pendidikan saat ini, awal perkembangnya dimulai pada awal era Orde Baru. Dimulai dari masuknya modal-modal asing saat kepemimpinan Soeharto, dan mengangkat Daud Yusuf sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1978-1983.

Ketika modal-modal sudah masuk ke dalam dunia pendidikan, maka pendidikan tidak lagi bebas nilai, pendidikan menjadi ladang baru penguasa untuk melancarkan propagandanya dan sarana reproduksi kebudayaan penguasa.

Daud Yusuf memberlakukan Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), dimaksudkan untuk membersihkan kampus dari segala aktivitas politik. Menurutnya, kegiatan berpolitik hanya boleh dilakukan di luar kampus, sementara tugas mahasiswa hanya belajar. Dengan kebijakan itu, Yusuf menghapuskan Dewan Mahasiswa (DeMa) di universitas seluruh Indonesia, yang sebelumnya kedudukan setara dengan Wakil Rektor.

Berbicara soal pendidikan dan kebijakannya pasti tak lepas dari pemerintahan. Setiap kebijakan menteri pasti tak lepas dari koordinasi dan persetujuan presiden. Selain juga pemilik modal juga ikut melakukan intervensi setiap kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah.

Jika berkaca pada UU PT 2012, sisi baiknya kampus lebih mandiri dalam mengelola rumah tangganya, lebih jauh kampus sebenarnya juga lebih inovatif dalam mencukupi pendanaan kampusnya tanpa membebani masyarakat kampus. Namun yang seringkali terjadi, kampus malah membebani mahasiswa, membuat sistem pendidikan kembali seperti zaman kolonial, hanya orang yang punya duit lebih saja yang boleh menempuh pendidikan.

Terakhir, sistem outsourcing di kampus juga semakin menunjukan wajah menyeramkan kapitalisasi pendidikan. Sistem yang jelas dilarang oleh undang-undang, namun di beberapa kampus di Yogyakarta masih saja diberlakukan. Bagi para pegawai, selain tidak tetap, besaran upah yang diterima seringkali tak sesuai. Hal-hal macam ini yang semakin mencoreng wajah pendidikan Indonesia.

Reyhan Majid, Pimkot Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimkot Yogyakarta.