pendidikan

Bedah Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (1): Relativisme Trend Global

4:21 AM, October 10, 2023

Opini, Pendidikan

Admin Pimnas


Oleh: Iman Zanatul Haeri

Bagaimana membedah peta jalan pendidikan yang dicanangkan negara ketia dunia sudah global-digital seperti ini?

Menurut Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, Teknologi, sosiokultural, dan lingkungan akan mengalami perubahan sehingga akan berdampak pada masa depan pendidikan. Pada aspek Teknologi; artificial Intelligence dan Big data yang akan ditopang oleh 5G telah mengubah cara kerja pabrik. Contohnya pencapaian percetakan tiga dimensi (3D) tanpa bantuan tangan manusia secara langsung.

Pada aspek Sosio Kultural, demografi dan perpindahan penduduk (migrasi, urbanisasi dan pertumbuhan kelas menengah) membuat cara kerja lebih fleksibel, mobile dan meningkatnya kepedulian konsumen kepada etika, privasi dan kesehatan. Hal ini berarti sosiokultural dilihat dari logika konsumsi.

Pada aspek lingkungan, seperti pernah disinggung dalam Kurikulum 2013, diperlukan peningkatan kesadaran lingkungan dan perhatian terhadap energi alternatif serta isu-isu lingkungan lainnya.

Dari ketiga aspek tersebut, model yang dipakai untuk capaian pendidikan 2035 adalah OECD Learning Compasss 2030. Kerangka dalam kompas pembelajaran ini terdiri dari empat aspek, yaitu 1) kesejahteraan, 2) siswa dan co-agen, 3) kompetensi inti dan 4) Siklus Antisipasi-Aksi-Refleksi (AAR). Istilah yang tergolong baru, adalah 2)  Student agency dan Co-agen.

Menurut OECD (2019), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi Student Agency, karena istilah ini dimaknai berbeda di setiap negara seperti Korea Selatan, Jepang, China dan Afrika Selatan. Selain itu Co-agency lebih dimaknai sebagai proses pembelajaran ‘kolaboratif dan ‘kerjasama’ antara siswa, sebaya, guru, orang tua dan komunitas. Aspek co-agensi sebenarnya telah berjalan melalui program komunitas, sekolah dan guru penggerak yang diusung Kemdikbud beberapa bulan belakangan. Hal tersebut dimaksudkan peningkatan kompetensi bagi guru dan lingkungan belajar.

SDM yang diharapkan dari peta jalan pendidikan ini adalah kompetensi global. Meskipun yang disebut ‘kompetensi global’ adalah kemampuan yang bisa diklaim berbagai negara dengan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Menjadi kompeten secara global tidak bisa hanya dengan meniru standar yang ditetapkan oleh lembaga internasional tertentu yang jelas-jelas bertujuan menopang perekonomian negara-negara maju. Indikator-indikator khusus justru lebih menentukan kompetensi seseorang di level global.

Hal ini karena situasi global sesungguhnya sangat relatif. Kesalahan Nokia memilih Windows, Korea Utara yang mulai justru membuka diri, reformasi kebijakan Arab Saudi, keberhasilan Huawei mencapai 5G, dan keuntungan berkali-lipat yang didapatkan amazon dan zoom adalah beberapa situasi relatif global. Tentu saja termasuk sebaran wabah yang dimulai di Wuhan, namun menewaskan lebih banyak orang di Bergamo (Italia), Qom (Iran) dan New York dan justru, kembali ke Tiongkok (Wuhan) negara yang pertama kali berhasil mengatasinya. Tidak ada yang bisa memprediksi hal tersebut karena situasi global lebih relatif dari yang bisa dibayangkan.

Selain itu, satu dari empat perbaikan yang akan dilakukan dalam konsep Merdeka Belajar yakni kolaborasi dan pembinaan antara lokal dan global. Boleh jadi yang dimaksud hampir mirip dengan istilah Glokalisasi, yakni menghadapi globalisasi dengan nilai-nilai material lokal. Penjelasan ini minus ruang lingkup nasional. Dalam strategi utamanya di level nasional, konsep Merdeka Belajar diharapkan dapat mempererat hubungan dengan industri dan kemitraan global dengan maksud membentuk pendidikan tinggi kelas dunia.

Namun ungkapan Glokalisasi juga mengandung ancaman. Artinya relasi dan kebudayaan dominan dalam ruang lingkup global boleh jadi merupakan upaya kreatif mereproduksi nilai-nilai dan produk lokal menjadi primadona global. Kemudian ketika nilai lokal tersebut berhasil diserap, dimediasi dan mendominasi kebudayaan di belahan dunia lainnya, jadilah trend global. K-pop adalah contoh paling nyata bagaimana remaja di seluruh dunia terhipnotis oleh budaya pop Korea dan secara bertahap mulai mempelajari sejarah dan kebudayaan negeri gingseng. Kemudian K-pop dinobatkan menjadi trend global.

Trend global tersebut bukan titik berangkat yang stabil. Trend Global menjadi relatif karena karena siapa saja bisa mendominasi. Kemudian  kecepatan transaksi dan pertukaran barang, jasa dan manusia menambah ketidakstabilan dominasi dengan demikian membuat situasi semakin relatif.

Artinya apabila peta pendidikan diarahkan pada trend Global, kita akan terombang ambing dalam ‘mengejar’ suatu kemajuan yang sifatnya sementara. Pengejaran terhadap ‘Trend Global’ yang berjalan dari satu lokalitas ke lokalitas tertentu, justru menjauhkan kita dari upaya konkrit untuk menjadi dominan dalam persaingan global. Masalah utamanya, pengejaran trend global membuat kita sibuk mengejar, dan lupa menempa nilai-nilai lokal yang seharusnya dilindungi oleh kebijakan nasional. Karena strategi utama dalam membentuk peta pendidikan tidak hanya berhasil memetakan masa depan, namun menggariskan konsep pendidikan sesuai dengan kepribadian bangsa yang hendak dipertahankan.

Di sinilah aspek kecepatan dalam pengejaran pada trend global cukup berbahaya dan akan menghempaskan bangsa mana saja yang lupa membangun akar yang kokoh. Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 telah memberikan jalan menuju persaingan global, tanpa perbekalan yang cukup, mendorong generasi baru terhempas lebih cepat.

Bedah Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (2): Kurikulum Ramah Industri?

Charles Dickens (1812-1870) melalui novelnya berjudul Oliver Twist menunjukan bahwa anak-anak pada masa periode awal Revolusi Industri Pertama hampir menghabiskan seluruh hidupnya untuk bekerja di pabrik yang kotor dan berasap. Novelnya terasa begitu nyata, ditopang oleh pengalaman Dickens sendiri yang sudah bekerja sejak usia 12 tahun. Namun menjelang akhir abad ke-19, kewajiban untuk bersekolah telah menyelamatkan anak-anak dari seluruh penjuru dunia dari kewajiban untuk bekerja. Kewajiban untuk mendapatkan akses pendidikan telah menyelamatkan anak-anak dari penjara industri.

Pendidikan saat itu dimaknai sebagai gerakan pembebasan. Wajar, generasi pertama pendidikan Hindia Belanda seperti Ki Hajar Dewantara masih mewarisi semangat tersebut sehingga ia tidak pernah memberikan jarak antara pendidikan dan kemerdekaan. Kelanjutannya kita sama-sama tahu, Ki Hajar, dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, dan tokoh nasional lainnya yang lebih muda dari bapak pendidikan itu membuktikan bahwa gagasan kemerdekaan mereka yang dihasilkan pendidikan membuahkan hasil; Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu hutang besar mereka terhadap pendidikan tidak main-main dibayar muka dengan menuliskan tinta emas dalam pasal 31 UUD 1945 (sebelum amandemen) yakni “Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.” Tentu menjadi kewajiban negara memberikan akses pengajaran kepada warga negara. Namun kewajiban bersekolah tidak lagi dengan maksud membebaskan atau memerdekakan.

Meskipun kini anak-anak sudah terlepas dari kewajiban bekerja, namun selama mereka bersekolah, semua materi pelajaran dan pengajaran diarahkan agar mereka terampil sebagai pekerja (baca:buruh). Jauh dari cita-cita pendiri bangsa, kita kembali ke kondisi revolusi industri pertama saat anak-anak dan pabrik tidak lagi berjarak, justru mereka diarahkan untuk siap berada didalamnya. Termasuk juga pendisiplinan dan ruang kelas yang lebih mirip pabrik.

Tidak mudah menemukan jawaban mengapa ruang kelas berbentuk kotak atau persegi panjang. Arsitektur ruang belajar bukan hanya mencerminkan nilai-nilai budaya, namun juga cerminan moda produksi suatu masyarakat. Walter Gropius, desainer arsitektur Bauhaus school di Weimar dianggap salah satu arsitektur pendidikan paling berpengaruh awal abad ke-20 karena konsepnya hampir ditiru oleh semua sekolah di dunia. Seperti gedung sekolah, bentuk kelas, bangku, aula, lantai, lorong dan lainnya.  Bahkan ia menyarankan agar filosofi sekolah harus bisa melatih pelajarnya bekerja bersama industri.

Selama revolusi Industri, ruang belajar tidak hanya berbentuk mirip ‘pabrik’ dengan baris dan kolom yang simetris, namun juga muncul nilai-nilai pabrik didalam sekolah yang sekarang seringkali dipermasalahkan kalangan pendidik, yakni standarisasi.

Sayangnya standarisasi ini akan dipatenkan dalam PJPI 2020-2035 dengan tetap mengacu hasil PISA, bahkan ditambahkan dengan TIMSS (matematika dan sains) dan PIRLS (literasi membaca). Menurut Pasi Sahlberg penulis buku Finnish Lesson: What Can The World Learn from Educational Change in Finland, ketiga penilaian tersebut merupakan bagian dari Global Education Reform Movement (GERM) yang mempromosikan kompetisi pelajar global melalui testing dan mendorong privatisasi pendidikan. Dorongan privatisasi tersebut merupakan gerakan paling berbahaya dari kampanye semacam ini. Selain itu, regulasi di dalam pendidikan itu sendiri tidak hanya diharapkan agar menghasilkan tenaga kerja ‘terampil’ dan ‘kompetitif’, namun proses pembelajaran itu sendiri adalah bagian dari industri. Sistem pendidikan Nasional melalui Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 hendak mematenkannya.

Adaptasi sistem pendidikan negara-negara maju terhadap perubahan global tidak sepenuhnya menuntut mereka agar menyerahkan regulasi pendidikan terhadap Industri. Hanya Singapura yang tercatat melakukan kerjasama dengan industri, itupun terbatas dalam pendidikan vokasi dan kursus khusus Industri di level perguruan tinggi.

Di Tiongkok, perubahan hanya terjadi di level prasekolah. Yaitu hanya peningkatan metode pedagogi bermain anak. Dalam pendidikan Vokasi, justru lembaga vokasi Tiongkok didorong mengeluarkan sertifikat keterampilan yang kompetitif. Berbeda dengan di Indonesia, BPS tahun 2018 mencatat bahwa pendidikan vokasi (SMK) menyumbangkan pengangguran sebanyak 11,24% berbeda dengan lulusan SMA yang menyumbangkan 7,95% penganggur. Fakta kualitas pendidikan vokasi di tanah air menunjukan jalan yang sangat jauh untuk pendidikan Vokasi tersebut dipercaya dunia industri untuk mengeluarkan sertifikat keterampilan sebagaimana Tiongkok.

Di Tingkat Perguruan Tinggi, Tiongkok tidak mengarahkan universitas untuk terampil di sektor industri. Ini perlu dicatat. Tiongkok justru melakukan internasionalisasi kampus secara besar-besaran. Diluar itu, negara-negara percontohan bagi Indonesia seperti Australia, Belanda, Kanada, Finlandia dan Jerman bahkan sama sekali tidak mengarahkan sistem pendidikan mereka pada keterampilan khusus industri di tingkat prasekolah hingga universitas.

Namun paparan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 justru menekankan aspek ‘kolaborasi dengan industri’ sebagai bagian pemecahan masalah besar Perguruan Tinggi–sementara negara-negara yang yang jadi perbandingan di atas sama sekali tidak melakukan kolaborasi dengan industri. Kecuali Singapura, itupun kerjasama dalam bentuk yang terbatas. Faktanya kontribusi dunia industri dan swasta di Indonesia terhadap pendidikan memang minim. Hal ini bukan berarti sistem pendidikan secara menyeluruh harus diarahkan pada Industri. Sebagai Contoh, Belanda dan Kanada termasuk negara yang cukup tinggi mendapatkan biaya dari sektor swasta. Namun seperti sudah disebutkan sebelumnya, pendidikan di sana sama sekali tidak diarahkan secara menyeluruh bagi kepentingan industri.

Kedudukan Industri juga diselipkan dalam konsep ‘Merdeka Belajar’. Konsep ini mengacu pada kompas OECD 2030 yang menekankan kolaborasi siswa dengan guru, orangtua sebaya, sekolah dan komunitas. Namun diubah dalam PJPI 2020-2035 menjadi keluarga, guru, institusi, masyarakat dan dunia usaha/ industri. Artinya ada dorongan yang kuat untuk menginjeksi industri kedalam konsep merdeka belajar di dunia pendidikan secara vulgar. Hal ini sangat berbahaya karena peran komunitas yang mampu menjangkau peserta didik secara horizontal digantikan oleh dunia usaha/industri yang hubungan sosialnya lebih vertikal.

Namun perlu diapresiasi, perubahan kebijakanan pada pendidikan vokasi, fleksibilitas antara Vokasi dan Universitas, Marketplace BOS dan penekanan industri di level Perguruan Tinggi cukup baik dari perspektif pembangunan manusia yang linear. Hal ini bukan tanpa kelemahan.

Percepatan akselerasi Industri dalam dunia pendidikan tidak hanya mengarahkan lulusannya pada pada keterampilan tenaga kerja industri namun melakukan industrialisasi di dalam pendidikan itu sendiri. Walhasil terjadi ‘kelebihan produksi’ di dalam dunia pendidikan sendiri–yang artinya prinsip pasar (yang telah lama terjadi) diperkuat oleh kebijakan negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini akan menimbulkan masalah yang selalu dikeluhkan oleh para pengusaha kecil menengah (UKM) digital di Indonesia, yakni monopoli platform-platform besar yang selalu berhasil menjadi lampiran kebajikan negara.

Jika itu terjadi di industri digital, maka bukan tidak mungkin monopoli semacam itu akan terjadi di dunia pendidikan dan kolaborasi seimbang antar student agen dan co-agen justru tidak akan pernah terjadi. Keadaan tersebut hanya membuat jaringan Co-agen tertentu menguasai akses kebijakan negara, memonopoli nya dan membawa kita kembali ke belakang untuk mengulang tradisi lama dalam kementrian Pendidikan; mengganti kurikulum lagi setiap pergantian politik, meratapi data pengangguran terdidik yang terus meningkat sementara industri yang disembah telah terus merusak ekologi dan sistem sosial masyarakat Indonesia.