advokasi-image

Advokasi Kebijakan dan Strategi Perjuangan

5:18 AM, October 09, 2023

Opini

Admin Pimnas


Salah satu titik sentral yang menandai perjuangan bangsa Indonesia adalah bahwa di dalamnya terdapat peran besar pemuda. Pengakuan atas peran pemuda tersebut bukanlah sekedar lantunan cerita imajiner belaka. Kerja-kerja perjuangan pemuda yang dipraktekkan dalam bentuk misalnya, propaganda melalui surat kabar, mengorganisir buruh untuk melakukan pemogokan, menggelar rapat akbar, berserikat, mendirikan partai politik, serta parlemen jalanan atau melakukan demonstrasi adalah sederet catatan penting —bagaimana pemuda mengambil sikap serta menentukan keberpihakannya— yang musti ditengok ketika fase pergantian generasi.

Meski demikian, yang menjadi penting untuk ditengok dari catatan tersebut bukanlah sekedar heroisme semata. Karena aktivisme pemuda bukanlah tentang sebagai apa ia dikenal hari ini dan seperti apa kelak ia akan dikenang. Kondisi objektif bahwa masih terjadinya praktik penindasan serta penghisapan terhadap rakyat adalah alasan mengapa gerakan pemuda tetap dibutuhkan sebagai kekuatan politik alternatif dan strategis. Mengambil semangat zaman mempunyai artian bahwa, gerakan pemuda hari ini juga harus mempelajari pola dan kemampuan mengambil sikap serta peran dalam setiap momentum dan menempatkan keberpihakan atas kerja gerakan terhadap kemanusiaan. Hal demikianlah yang musti diserap dari catatan tersebut. Namun tidak kemudian menutup mata akan adanya kesalahan atau kekalahan yang dialami gerakan terdahulu, atas aras itulah generasi selanjutnya akan menempatkan kritiknya.

Keberanian untuk mengkritik generasi terdahulu itulah yang musti menjadi pondasi awal gerakan hari ini dalam menyusun setrategi dan taktik perjuangannya kedepan. Selain dari pada itu, ungkapan bahwa setiap generasi mengalami zaman yang berbeda dari generasi terdahulu, maka kontekstualisasi atas metode perjuangan haruslah dirumuskan. Bukan berarti sama sekali membuang pola lama, akan tetapi hal tersebut didasarkan pada pembacaan rasional dalam tubuh gerakan atas peluang dan kekuatan serta unsur-unsur lain yang menyertainya. Dengan tetap bergerak bersama mereka —rakyat— dan bukan hanya sekedar mebawa-bawa nama mereka.

Bergerak bersama adalah kerja pergerakan yang menuntut terjadinya dealektika massa rakyat menemukan kesadaran dan cita-cita sejatinya, yang pada dasarnya sudah ia miliki namun selama ini terhalang kabut gelap —ketidakadilan sosial— pemiskinan dan pembodohan. Para pelopor adalah mereka yang terus memutar turbin sejarah yang akan mengusir kabut gelap tersebut.

Dalam konteks negara, keadilan sosial bagi seluruh rakyat seharusnya sudah tertuang dalam undang-undang atau kebijakan publik yang dilahirkan. Namun, seringkali fakta dilapanagan mengatakan berbeda. Bahkan tidak jarang pula, justru undang-undang itu sendiri yang kemudian menjadi ganjalan rakyat untuk melakukan pembebasan atas dirinya sendiri. Hal yeng demikian seringkali dilatar belakangi karena posisi rakyat tidak ditempatkan sebagai subjek dari kebijakan itu sendiri. Rakyat hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan, dalam artian bahwa rakyat tidak mendapatkan tempat untuk turut serta berpartisipasi aktif membawakan aspirasinya dalam perumusan suatu kebijakan.

Contoh kongkritnya bisa dilihat misalnya terkait kebijakan perburuhan, dimana kebijakan yang telah dibuat oleh negara seperti PP 78/2015. Semakin melapangkan jalannya penindasan dan diskriminasi terhadap buruh. Beberapa aturan yang meliputi sistem kerja kontrak dan outsourcing, politik upah murah dan sejumlah hak-hak normatif lainnya, seperti perlindungan dan jaminan keselamatan, kesehatan, kemudahan dalam PHK, hilang dan berkurangnya uang jaminan hari tua serta uang pesangon, dilemahkannya posisi buruh di hadapan pemilik modal/perusahaan dalam perselisihan hubungan industrial, dan berbagai peraturan lainnya yang semakin menjerat dan mengikat. Ini baru satu sektor, sektor-sektor lain misalnya agraria dan pendidikan dimana kondisinya tidak jauh berbeda atau bahkan lebih parah.

Kembali pada narasi kontekstualisasi, bahwa apa yang harus dikerjakan atau dalam bentuk seperti apakah kerja perjuangan pergerakan pemuda itu diterapkan mengcu pada konteks zaman yang sedang dialami. Misalnya saja, gerakan pemuda angkataan 66 dihadapkan pada kondisi rezim yang dimana ada momentum Soekarno mendaulat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sehingga kemudian dalam sejarah Indonesia kita mengenal apa yang disebut sebagai sistem demokrasi terpimpin, yang membuat posisi Soekarno sebagai presiden terlampau kuat dan menjalankan roda pemerintahan secara sepihak.

Begitu juga rezim setelahnya, otoritarianisme Soeharto menjadi musuh yang dihadap gerakan pemuda kala itu. Rezim yang anti kritik dan bahkan anti pikiran, sehingga ketika kritik itu disuarakan maka gerakan pemuda harus siap dengan ancaman hilangnya nyawa. Tidak heran jika kemudian yang menjadi persoalan besar di rezim ini adalah tentang hak asasi manusia (HAM).

Kemudian dari keduanya tentu berbeda dengan konteks hari ini, era reformasi dimana gerakan pemuda menemukan momentumnya ketiika 98 terlepas dari kesalahan serta kegagalannya, telah memberikan modal besar bagi gerakan hari ini yaitu kebebasan. Namun 20 tahun reformasi serta modal kebebasan yang terkandung didalamnya, nampak belum benar-benar mampu dimanfaatkan sepenuhnya. Kenyataan bahwa masih terjadi oligarki politik ditingkatan nasional, menyebabkan budaya elitis aktor maupun patai politik dimana pertarungan yang dilakukan hanya pertarungan kekuasaan dan bahkan sama sekali tidak membawa aspirasi dari basis konstituennya— rakyat.

Kondisi ini kemudian menuntut gerakan pemuda agar juga mengarahkan pola perjuangannya melalu jalur-jalur yang lebih kongkrit dan sistematis, misalnya dalam bentuk kerja advokasi kebijakan publik.

Sebab penyakit yang sudah kian kronis ditataran elite pemerintahan kita, yakni dahaga kekuasan, yang bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan dinasti-dinastinya. Penyakit inilah yang kemudian membawa kepada penghalalan segara cara, dan berujung pada ketidakadilan dan kesengsaraan kepada rakyat. Misalnya, bahwa baik oposisi maupun posisi di pemerintahan, sanagatlah jauh menyentuh kepada hal-hal yang berhubungan dengan rakyat-rakyat kecil, buruh, petani, nelayan dll. Sekali lagi, ketidak berpihakan tersebutlah yang mengharuskan gerakan melawan lewat aksi jalanan, beriringan dengan advokasi kebijakan sebagai bentuk perjungan atas produk hukum yang tak mencerminkan kepentingan rakyat kecil.

Rohmad Aditya, Kepala Suku KMPD , Yang kebetulan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.