Salam Nasional Demokrasi Kerakyatan!
Sebagai instrumen kapitalisme global, World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sejak lahirnya merupakan lembaga keuangan dunia yang memihak sekaligus didukung oleh Transnational Corporations (TNCs) dan Multinational Corporations (MNCs). Tatanan ekonomi dunia di bawah paham neoliberalisme membutuhkan kerangka ekonomi yang melibatkan negara terlibat dalam memuluskan ekonomi pasar bebas internasional. Disinilah peran WB dan IMF untuk mencengkeram negara-negara berkembang agar masuk ke dalam tatanan ekonomi dunia pasar bebas internasional.
Keterlibatannya di Indonesia sendiri, baik dalam memberikan bantuan maupun rekomendasi kebijakan tentu bukan dalam rangka kemanusiaan dan kemuliaan belaka. Melainkan utamanya adalah untuk mencarikan pemulus bagi TNCs dan MNCs mendapatkan ruang akumulasi keuntungan sekaligus melancarkan kejahatan (perampasan) atas hak-hak konstitusional rakyat Indonesia. Dari awal mula (terhitung sejak tim kecil IMF melakukan penelitian di Indonesia pada tahun 1962), WB dan IMF telah berperan penting dari Orde Baru hingga pada pemerintahan hari ini.
“World Bank (WB) maupun International Monetary Fund (IMF) selalu terlibat dalam kejahatan dan perampasan hak-hak konstitusional rakyat.”
Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Sari Wijaya, memaparkan hal demikian terjadi karena bantuan maupun rekomendasi kebijakan yang disodorkan oleh WB dan IMF selalu berangkat dari pemikiran neoliberalisme yang implementasinya didasarkan pada kebebasan pasar, privatisasi, deregulasi kebijakan, pemangkasan subsidi, serta penghapusan ‘barang maupun paham publik’. Ia melanjutkan, dasar-dasar ini lah yang kemudian output-nya harus dituangkan pemerintah dalam berbagai kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak. “Dampaknya, kebijakan menyangkut pembiayaan pendidikan tinggi, pemanfaatan air serta tanah, kebijakan tarif dasar listrik, hingga akses rakyat terhadap pelayanan kesehatan, dicabut subsidinya dan dikomersialisasikan,” ujar Sari Wijaya.
Jerat World Bank, IMF, dan WTO dalam Mahalnya Pendidikan Tinggi
Senada dengan Sari Wijaya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA), Ramli menyampaikan, dalam konteks pendidikan, rangkaian kebijakan negara telah dibuat sebagaimana yang direkomendasikan oleh WB, IMF, dan WTO. “Dengan dalih pembangunan pendidikan tinggi dan peningkatan daya saing, secara tidak langsung sebenarnya pemerintah Indonesia diarahkan untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi,” ungkap Ramli.
Selanjutnya, ia menjelaskan secara historis sejak Indonesia masuk ke dalam World Trade Organization (WTO) pada 1994, modal memiliki tempat dalam bidang pendidikan. Ia melanjutkan, ratifikasi WTO membuat negara-negara pesertanya menandatangani perjanjian Agreement on Trade and Service pada tahun 2005 yang isinya adalah kesepakatan meliberalisasikan 12 sektor jasa untuk diperdagangkan, salah satunya adalah jasa pendidikan.
Hal tersebut nampak dengan adanya gerakan transnasional oleh perusahaan transnasional yang didanai oleh World Bank dan WTO, Global Education Reform Movement. World Bank menggalakkan wacana Reformasi Pendidikan Tinggi. Sedangkan WTO menggagas tentang bagaimana Globalisasi Pendidikan Tinggi. World Bank dan WTO sama-sama mensyaratkan adanya empat hal yang harus dilakukan oleh pemerintah demi mendorong pendidikan tingginya bersaing di kancah global. Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT; kedua, mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; dan keempat, fokus pada kualitas, performativitas, dan persamaan.
Ramli mengatakan melalui keempat upaya skema tersebut, WB dan WTO bermaksud menyeret lembaga pendidikan tinggi di negara-negara pesertanya, salah satunya Indonesia untuk bersaing di tingkat internasional. “Propaganda mengenai ketertinggalan kualitas layanan pendidikan tinggi di Indonesia adalah isu yang didorong terus menerus untuk menggiring Indonesia ke dalam jebakan persaingan – modal diperkenankan masuk ke dalam lembaga pendidikan,” tuturnya.
Alhasil, Ramli mengatakan, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Kemudian, munculah undang-undang serta peraturan lainnya yang semakin mendorong komersialisasi pendidikan. “Sehingga hari ini, kita sebagai masyarakat secara umum merasakan pahit getirnya biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal,” pungkasnya.
Privatisasi Air dan Kemiskinan Struktural di Jakarta
Kondisi kerawanan air di Indonesia juga diakibatkan oleh mitos rekomendasi kebijakan yang disarankan oleh WB dan IMF. Bank Dunia memulai pinjaman di sektor air yang disebut Proyek Pinjaman Penyesuaian Sektor Sumber Daya Air (WATSAL). Pinjaman sebesar 300 juta dolar ini bertujuan untuk merestrukturisasi kebijakan sektor sumber daya air di Indonesia. Perjanjian ini menganggap air sebagai barang ekonomi dan mengubah aturan pengelolaan sumber daya di Indonesia agar air dapat diakses oleh perusahaan multinasional. Hal ini juga memperkuat peran sektor swasta dalam penyediaan layanan air. Proses tersebut akhirnya melahirkan Undang-Undang Air Nomor 7 Tahun 2004.
Sigit Karyadi Budiono, dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA) menuturkan, restrukturisasi sektor sumber daya air dengan menempatkan air sebagai barang ekonomi hanya akan menjadikan air sebagai komoditas dan mendorong privatisasi air yang merugikan masyarakat miskin. Padahal menurutnya, negara mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk air. Akibat bisikan kebijakan dari WB yang menempatkan air sebagai barang ekonomi, mendorong privatisasi air. Hal itu jelas akan mengalihkan tanggung jawab penyediaan air dari negara ke sektor swasta.
“Privatisasi air di Jakarta adalah kisah perusahaan-perusahaan multinasional yang dengan cerdik menggunakan Bank Dunia dan pemerintahan diktator yang patuh untuk menguasai saluran-saluran air di kota-kota besar,” ujar Sigit.
Hal tersebut menyebabkan masyarakat terpaksa bergantung pada mekanisme alternatif, yang seringkali bersifat eksploitatif dan mahal (Master Meter, Kios Air, dll.). Siti Komariah, warga kampung Muara Baru, mengatakan mekanisme master meter diterapkan membuat tiap rumah tangga mengakses air dari satu pemilik atau master meter dan bukan dari saluran utama.
“Pemilik master meter mematok harga lebih mahal, dua atau bahkan tiga kali lipat melebihi harga normal,” ungkapnya. Siti Komariah yang akrab disapa Kokom itu menyampaikan, biaya yang ia keluarkan untuk membeli air sangat membebani dirinya. “Saya harus mengeluarkan uang 500 ribu sampai 1 juta rupiah per-bulan,” ungkapnya.
Untuk itu, komite aksi ‘Lawan Kejahatan Lembaga Keuangan Global’ yang terdiri dari Paguyuban Warga Muara Baru, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), dan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), menyatakan sikap tegas “Mengecam Perampasan Hak Konstitusional Rakyat oleh WB dan IMF yang Terselubung dalam Berbagai Kebijakan Pemerintah”. Kami juga mendesak pemerintah RI untuk:
1. Keluar dari keanggotaan WB dan IMF;
2. Menuntut WB dan IMF bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di Indonesia;
3. Mengadili pejabat dan eks-pejabat yang terlibat kejahatan kemanusiaan bersama WB dan IMF di Indonesia;
4. Mencabut Undang-Undang yang sarat akan nuansa privatisasi dan komersialisasi sumber daya alam serta layanan publik;
5. Menghentikan proyek-proyek swastanisasi sumber daya alam dan layanan publik, khususnya tanah, air, dan pendidikan;
6. Mengeluarkan kebijakan yang pro kepentingan rakyat dengan melibatkan partisipasi rakyat;
7. Memberikan kepastian hak akses rakyat atas tanah dengan merombak struktur kepemilikan agraria untuk kesejahteraan rakyat;
8. Memberikan kepastian hak akses rakyat atas air dengan mengambil alih pengelolaan air untuk dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh rakyat;
9. Memberikan kepastian hak akses rakyat atas layanan pendidikan dengan memberikan tabungan pada setiap bayi yang baru lahir sebesar Rp 3000.000,-