Oleh: Muhammad Maksum Yusron*
Beberapa waktu setelah aksi demonstrasi penolakan RUU Pilkada pecah, terjadi bentrok antara massa aksi dan aparat keamanan, terdapat perdebatan “Apakah demonstrasi kelompok terpelajar harus seperti itu, merusak fasilitas dan adu kekerasan? Malah menunjukkan kalau kelompok terpelajar juga tidak beradab!”. Pertanyaan itu penting dan perlu kita jadikan refleksi, baik sebagai bagian dari massa aksi demonstrasi, maupun sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat yang lebih luas lagi. Sejak awal penulis ingin menegaskan, penulis tidak menempatkan diri sebagai penentang aksi chaos maupun penghardik orang-orang yang sinis pada aksi chaos. Penulis hanya bermaksud memberikan sudut pandang dalam melihat dua fenomena aksi chaos dengan kapasitas yang penulis miliki sepanjang berdinamika dalam organisasi perjuangan dan aksi-aksi massa. Penulis berharap, pembaca tidak segan memberikan komentar dan tanggapan dari semua kalangan, agar dapat bersama-sama memenangkan perlawanan rakyat atas segala sistem dan perangkat yang menindas rakyat.
Kemarahan Terhadap Pengrusakan, Lumrah!
Sinis bahkan marah terhadap tindakan pengrusakan adalah manusiawi. Sebab pengerusakan secara logis akan berdampak pada setidak-tidaknya berkurangnya ‘keindahan’ yang diinginkan oleh setiap manusia. Keindahan dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, hingga keindahan menampilkan sebuah unjuk rasa. Semua orang lebih menginginkan segala sesuatu dilihat secara ‘indah’, karena ‘keindahan’ merupakan salah satu tujuan yang dikejar umat manusia.
Melakukan demonstrasi saja, pada dasarnya merupakan bentuk kemarahan terhadap pengerusakan kepercayaan yang dipasrahkan rakyat kepada pemerintahan. Terlebih, demonstrasi yang memang direncanakan untuk chaos, tentu merupakan kemarahan berlebih yang telah terakumulasi. Sehingga pengerusakan kepercayaan harus diakhiri dengan cara merusak kepercayaan hingga mengakhiri kerjasama yang sudah diberikan kepada wakil rakyat, terlepas dengan ragam bentuk dan ekspresi yang ditampikannya (merobohkan pagar, vandalisme, melempar batu, orasi dan lain sebagainya).
Sayangnya, sebagian masyarakat justru memandang cara itu sebagai pengerusakan belaka. Beberapa postingan di media sosial menampilkan penilaian negatif terhadap aksi chaos yang dilakukan massa aksi. Mereka memandang tak seharusnya aksi chaos dilakukan oleh kelompok terpelajar, bahwa seharusnya, aksi demonstrasi kelompok terpelajar haruslah damai dan tertib tanpa harus bentrok apalagi merusak fasilitas-fasilitas. Sinis dan kemarahan masyarakat terhadap tindakan massa aksi merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, terlebih memang masyarakat kita telah dibentuk sejak lama sebagai masyarakat ‘mengambang’, yang nantinya akan kita diskusikan pula di bagian berikutnya.
Demonstrasi sebagai Salah Satu Taktik
Perlawanan rakyat sipil merupakan sebuah cara bagi orang-orang biasa atau masyarakat umum untuk memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan menggunakan taktik berbeda-beda, seperti agitasi propaganda, pemogokan, boikot, demonstrasi massa, dan aksi-aksi lainnya, untuk mendorong perubahansosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Beda halnya jika rakyat sipil sudah dipersenjatai/mempersenjatai diri, mereka bisa saja melakukan perlawanan dengan cara yang lebih ekstrem. Biasanya, perlawanan rakyat sipil yang sudah dipersenjatai disebut sebagai military junta (Junta Militer). Sebagaimana namanya, perlawanan rakyat sipil dengan junta militer ini tidak lepas dari keterlibatan militer yang turut melawan pemerintahan. setidak-tidaknya, keterlibatan militer turut melawan pemerintahan bisa dalam bentuk pelatihan perang dan/atau penyediaan senjata. Perlawanan rakyat sipil dengan junta militer bisa saja menggunakan taktik-taktik yang berbeda juga, seperti gerilya-anti gerilya, peperangan terbuka, kudeta, hingga perang rakyat semesta.
Nah, disini, kita akan membahas perlawanan rakyat sipil dengan taktik demonstrasi massa. Demonstrasi merupakan salah satu taktik yang cukup ampuh dalam memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan bagi rakyat. Banyak orang berpikir bahwa demonstrasi adalah aktivitas utama dari gerakan perlawanan sipil, padahal demonstrasi merupakan salah satu cara dari berbagai jenis taktik yang mungkin digunakangerakan perlawanan sipil dalam perjuangan mereka. Ada lebih dari dua ratus taktik tanpa kekerasan yang sudah teridentifikasi yang dapat dipilih, dari boikot (konsumen, politik, dan sosial); pemogokan; perlambatan kerja; penolakan membayar sewa, pajak, dan tilang; petisi; pembangkangan sipil; aksi diam, blokade; dan pengembangan tindakan-tindakan sejenis, dan seterusnya dan seterusnya. Pemerintahan yang korup, tidak kompeten dan tidak dapat memenuhi hak-hak konstitusional rakyat, bisa dilumpuhkan dengan taktik-taktik itu. Pilihan dan pentahapan dari taktik sangat tergantung pada penilaian situasi gerakan, sebaik apa kemampuan dan tujuannya. Pada umumnya, demonstrasi lebih sering dipakai oleh kalangan kelompok perjuangan, dalam melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang diterapkan penguasa.
Demonstrasi Berujung Chaos, Sensasi atau Pilihan Taktik?
Dalam dinamikanya, demonstrasi bisa saja berujung chaos karena beberapa hal, yang di antaranya (1) Provokasi dari luar dan/atau dalam, (2) Watak represif yang mendarah daging pada struktur kekuasaan, (3) Tidak terkonsolidasi/terorganisasikan dengan baiknya aksi demonstrasi, (4) Kemarahan yang telah terakumulasi ditambah dengan tidak kooperatifnya pemerintahan, (5) Tidak adanya visi yang jelas dalam melakukan perlawanan rakyat sipil. Sebab ke (1) dan (2), kiranya tidak perlu dijelaskan, bagaimanapun, pembaca sering menemui dan mengalaminya.
Pada poin (4), demonstrasi yang berujung chaos, disengaja dan dipersiapkan secara matang sebagai alternatif atau pengembangan taktik demonstrasi, ketika pemerintahan tidak kooperatif. Artinya, akumulasi kemarahan dikelola dalam demonstrasi berdasarkan situasi dan dinamika di lapangan, sebagai upaya menghadirkan sikap kooperatif pemerintahan untuk mencapai strategi perlawanan (misalnya, pemenuhan hak dan perubahan kebijakan yang lebih adil bagi rakyat). Namun akan sangat fatal dan berkonsekuensi menimbulkan banyak kerugian ketika ternyata, chaos terjadi sekedar karena poin (3) apalagi poin (5).
Chaos yang terjadi karena poin (3), biasanya diindikasikan oleh beberapa aspek; tidak terkomunikasikan dengan baiknya hasil keputusan teknis lapangan ke seluruh elemen yang bergabung dalam barisan massa aksi, komando/kepemimpinan massa aksi yang lemah dan tidak tegas dalam menjaga skenario aksi demonstrasinya, aksi demonstrasi yang dilakukan memang reaktif sehingga tidak direncakanan dengan matang namun berhasil memantik massa reaksioner termobilisasi. Chaos yang terjadi karena sebab poin (3), berisiko mengalami perpecahan koalisi yang sudah terkonsolidasi. Selain itu, juga menimbulkan kerugian-kerugian baik sifatnya materiil maupun immateriil. Kerugian materiil misalnya, kerusakan fasilitas milik massa aksi, luka fisik, penangkapan massa aksi oleh aparat, hingga jatuhnya korban jiwa. Sementara kerugiaan immateriilnya bisa berbentuk perpecahan koalisi yang sebelumnya sudah terkonsolidasi, trauma psikis massa aksi, stigma negatif masyarakat, hingga framing media justru merugikan gerakan perlawanan rakyat sipil. Kerugian-kerugian ini memang pada dasarnya hampir selalu ada pada aksi demonstrasi berujung chaos. Namun bukan berarti ini semua tidak bisa diminimalisir dan disiasati, sehingga aksi demonstrasi seharusnya memang direncakan matang-matang berdasarkan sasaran tertentu.
Aksi demonstrasi yang berujung chaos karena poin (3), mudah tumbuh namun juga mudah pudar begitu saja padahal belum mencakup persoalan yang lebih krusial bagi rakyat (ekonomi politik). Kecuali, bilamana isu atau persoalan (parsial) yang dijadikan sarana komunikasi politik gerakannya memang belum dimenangkan. Bahkan saat belum dimenangkan, ketika daya tahan dan daya juangnya tidak teruji, maka akan tetap mudah memudar. Dan ini akan membuat perlawanan rakyat sipil dengan visi jangka panjang tersendat-sendat.
Chaos karena poin (5), lebih tidak bermutu lagi, sebab chaos dikarenakan poin (5), memang disengaja namun di luar rencana yang baik, dan bukan karena sebuah taktik untuk pencapaian strategis perlawanan, melainkan sekedar kemarahan membabi buta, tanpa tujuan visi yang jelas. Biasanya juga karena dibumbui oleh sebab ke (1), yakni adanya provokasi dari dalam. Pada konteks hari ini kenyataannya lebih parah lagi. Chaos dalam demonstrasi telah bergeser dari yang mulanya pengembangan taktik perlawanan, menjadi lifestyle demonstrasi, akhirnya demonstrasi juga bergeser, bukan sebagai taktik perlawanan rakyat sipil, melainkan sekedar salah satu fomo aktivisme. Chaos dalam demonstrasi sengaja dicari dan diadakan hanya untuk memperoleh sensasi, syukur-syukur bila mendapat simpati dan akhirnya partisipasi meluas ke berbagai kalangan yang bersimpati. Kalau tidak, yang terjadi malah semakin terkuburnya kekuatan sipil.
Chaos karena poin (5) ini, memang membersamai perlawanan rakyat sipil atas perilaku, tindakan atau kebijakan tertentu dari pemerintah. Akan tetapi, perlawanan tersebut bukan semata-mata karena kemurnian keresahan rakyat sipil, melainkan distimulasi adanya kepentingan elit tertentu yang terpental karena ‘tindakan atau kebijakan’ tertentu pemerintah. Rakyat sipil hanya dijadikan alat untuk negosiasi elit di kamar dagang kekuasaan, jika tidak demikian, dibalik perlawanan tersebut pastilah ada elit yang mengambil keuntungan secara cuma-cuma. Hal ini mudah dan seringkali terjadi, karena masyarakat kita sekian lama telah dibentuk sebagai masyarakat mengambang (floating mass). Masyarakat kita dengan mudahnya bisa diombang-ambingkan tanpa sadar, sebagai kekuatan pendukung kepentingan kelompok tertentu di kekuasaan. Jujur saja, demonstrasi yang berujung chaos sebab poin (5) sebenarnya kontraproduktif, bahkan kontrarevolusi bagi perjuangan jangka panjang rakyat.
*Sekjend FPPI Nasional