Oleh: Luqman Abdul Hakim
GEJOLAK PERLAWANAN kembali menyeruak di tengah-tengah kehidupan kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Buktinya pada 17 Mei lalu, konsolidasi akbar diselenggarakan oleh beberapa elemen-elemen gerakan baik dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Tim Aksi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Red Soldier, berbagai komunitas seperti SPORA, UNJ Kita, DKS, serta didukung juga oleh aliansi dosen. Konsolidasi akbar diselenggarakan untuk merefleksikan perjuangan yang juga pernah dilakukan oleh mahasiswa UNJ pada 30 Mei 2016. Kesadaran bahwa perjuangan tahun lalu tidak sama sekali menuai perubahan yang dampaknya signifikan adalah satu hal yang menggerakkan kembali semangat perjuangan di kalangan mahasiswa UNJ.
Salah satu isu yang dibahas dalam konsolidasi tersebut adalah soal demokratisasi kampus. Suatu tuntutan yang kiranya begitu tinggi; sebab kita tahu, sangat jarang sekali kita akan menemukan bentuk-bentuk kehidupan yang demokratis di sekitar kita. Pemaknaan atas konsep demokrasi yang keliru–yaitu hanya sebatas kesempatan memilih pemimpin atau yang biasa dikenal dengan istilah demokrasi elektoral–membuat isu demokratisasi kampus harus dapat dijelaskan secara sistematis kepada setiap mahasiswa.
Sejatinya demokratisasi kampus yang dimaksud adalah yang bermakna keterlibatan aktif seluruh elemen kampus–dari mulai birokrat kampus, dosen-dosen, karyawan, serta mahasiswa–dalam setiap segi kehidupan Universitas. Sesuai dengan definisi demokrasi yaitu prinsip penyelenggaraan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka sepatutnya penyelenggaraan kehidupan kampus (harus) demokratis adalah dari , oleh, dan untuk sivitas akademik sebagai analogi rakyat dalam demokrasi kehidupan Negara. Lalu mengapa mahasiswa sebagai sivitas akademik dalam hal ini tidak merasa pernah dilibatkan sehingga terus melanjutkan perjuangan dengan mengkritik birokrat kampus? Sekiranya ada beberapa hal yang menjadi indikator bahwa kehidupan kampus UNJ tidak demokratis.
Gambar 1.1 Dokumentasi Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA) 2017
Pertama, terkait penerapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sejak awal diterapkan tahun 2012, sudah cacat. Regulasi UKT terbaru yang menjadi landasan adalah Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi (Permendikti) No. 39 tahun 2016, yang menjelaskan bahwa UKT adalah sebagian Biaya Kuliah Tunggal yang ditanggung mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Dalam praktik penerapannya di UNJ, UKT dibagi menjadi beberapa kelompok dengan range biaya kelompok terendah (Kelompok 1 dan Kelompok 2) adalah Rp. 500.000,- dan Rp. 1.000.000,-. Untuk UKT yang ditetapkan kepada mahasiswa angkatan 2013-2015, terdapat aturan bahwa jumlah mahasiswa penerima UKT Kelompok 1 dan 2 ditetapkan minimal 5% dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru dan tersebar di setiap program studi. Perubahan terjadi di tahun 2016, kuota penerima UKT kelompok 1 dan 2, digabungkan dengan mahasiswa Bidik Misi yaitu sebesar 20% dari keseluruhan mahasiswa baru. Tetapi, berdasarkan data yang dihimpun oleh oleh Tim advokasi BEM UNJ, kuota minimal 5% bagi mahasiswa yang ditetapkan sebagai penerima UKT kelompok 1 dan 2 belum sepenuhnya terpenuhi.
Kedua, soal pungutan di luar dana UKT. Dalam Pasal 8 Permendikti No. 39 Tahun 2016, Perguruan Tinggi dilarang melakukan pungutan untuk kegiatan pembelajaran terhadap mahasiswa. Tetapi, nyatanya pungutan masih terjadi dalam beberapa kegiatan mata kuliah, dan yang paling sering terjadi pada saat outing class dan Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Dua hal tersebut terjadi selama hampir 7 tahun diterapkannya UKT di kampus UNJ. Dalam hal ini, sebenarnya Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (kemenristekdikti) adalah lembaga yang punya wewenang lebih untuk melakukan pengawasan dan menindaklanjuti praktik-praktik yang menyimpang karena setiap semester UNJ memberikan laporan realisasi penerimaan kepada kementerian melalui sistem monitoring dan evaluasi (SIMonev). Sayangnya, Peraturan Kementerian yang seyogyanya dibentuk dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa terkait UKT malah tidak memenuhi unsur-unsur hukum karena tidak terdapat pengaturan tentang sanksi yang tegas jika terdapat pelanggaran.
Soal transparansi keuangan kampus yang lain adalah perihal aliran dana terhadap sarana prasarana dan kegiatan mahasiswa baik dalam Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (OPMAWA) maupun Organisasi Kemahasiswaan (ORMAWA). Landasannya sederhana, bahwa penetapan segala macam anggaran yang dilakukan oleh birokrasi kampus, sebagian berasal dari dana mahasiswa, lalu dimana hak mahasiswa untuk mengetahui aliran dana yang setiap semester mengisi kantung-kantung kas Universitas? Keuangan yang tidak transparan ini berpangkal pada tata kelola kampus yang belum maksimal dan belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaran Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Tata kelola yang belum maksimal juga membuka peluang bagi praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) oleh birokrasi UNJ yang saat ini telah terendus oleh banyak pihak. Ketiga permasalahan diatas tidak pernah melibatkan peran aktif mahasiswa baik dalam penetapan besaran UKT, penetapan penerimaan kelompok UKT mahasiswa, maupun penjelasan dan evaluasi sistem UKT yang diterapkan.
Iklim yang tidak demokratis ini bahkan bukan hanya tidak tercapai dalam praktik pelaksanaannya, melainkan juga telah terkandung dalam beberapa landasan hukum terkait penyelenggaraan dan pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam PP No. 4 Tahun 2014 hanya terdapat dua stakeholder yang memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang atas penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri; Menteri dan Organisasi Perguruan Tinggi. Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan mencakup pengaturan; perencanaan; pengawasan, pemantauan dan evaluasi; serta pembinaan dan koordinasi (Pasal 3 PP No. 4 Th. 2014). Tugas dan wewenang Menteri mengatur tentang sistem pendidikan tinggi; anggaran; hak mahasiswa; akses yang berkeadilan; mutu pendidikan; relevansi hasil; dan ketersediaan Perguruan Tinggi (Pasal 4 PP No. 4 Th. 2014).
Aspek pengelolaan Perguruan Tinggi yang diatur melalui PP meliputi aspek otonomi Perguruan Tinggi; pola pengelolaan; tata kelola; dan akuntabilitas publik. Otonomi Perguruan Tinggi dalam hal ini terkait otonomi dalam bidang akademik (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) dan non-akademik (organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana). Dalam pola pengelolaan, perguruan tinggi negeri dibagi menjadi PTN dengan pola pengelolaan keuangan negara, PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN Badan Hukum (PTN-BH). UNJ dalam hal ini termasuk dalam PTN dengan pengelolaan BLU. Untuk tata kelola berdasarkan PP tersebut PTN harus memiliki organisasi PTN yang paling sedikit terdiri atas unsur, a. penyusun kebijakan (Senat Universitas); b. pelaksana akademik (Pemimpin Perguruan Tinggi yaitu, Rektor, Wakil-wakil dan jajarannya); c. pengawas dan penjaminan mutu (Satuan Pengawas Internal); d. penunjang akademik atau sumber belajar, dan; e. pelaksana administrasi dan tata usaha. Terakhir perihal akuntabilitas, adalah kewajiban bagi PTN untuk menjalankan visi misi Pendidikan Tinggi Nasional sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dalam bentuk laporan tahunan dan wajib diumumkan setiap tahun kepada masyarakat.
Pengelolaan Perguruan Tinggi selain harus memenuhi unsur yang diatur lewat PP No. 4 Th. 2014, juga harus memiliki Statuta sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di Perguruan Tinggi. Statuta Perguruan Tinggi paling sedikit memuat tentang, a. Ketentuan Umum; b. Identitas; c. Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi; d. Sistem pengelolaan; e. Sistem penjaminan mutu internal; f. Bentuk dan tata cara penetapan peraturan; g. pendanaan dan kekayaan; h. Ketentuan peralihan, dan; i. Ketentuan penutup. Statuta Perguruan Tinggi yang mencakup kesepuluh bagian tersebut disahkan melalui Peraturan Menteri.
Dalam aturan mengenai pengelolaan, organisasi PTN sama sekali tidak melibatkan mahasiswa entah sebagai salah satu bagian dari unsur penyusunan kebijakan, maupun pengawasan. Namun, selama ini hanya segelintir pihak yang mengetahui tentang pola pengelolaan dan tata kelola UNJ. Apakah selama ini pengelolaan dan tata kelola sudah sesuai dengan standar nasional? Apakah setiap unsur organisasi telah menjalankan fungsinya dengan prinsip check and balance sesuai amanat Menteri? Bahkan pertanyaan penting adalah apakah UNJ memiliki statuta yang menjelaskan tentang peraturan dan prosedur operasional Universitas? Lalu dimana posisi mahasiswa dalam kehidupan Universitas? Apakah mahasiswa tidak memiliki hak untuk terlibat secara utuh sebagai bagian dari gerak roda Universitas dan selamanya hanya menjadi produk yang diciptakan oleh Universitas? Pada akhirnya mahasiswa hanya merupakan peserta pasif yang hanya bisa menerima–paling banter merengek–segala kebijakan kampus yang tidak sesuai bahkan yang cenderung merugikan mahasiswa.
Perihal status dan hak mahasiswa telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pertama, status sebagai peserta didik. Kedua, status sebagai bagian dari sivitas akademika. Sebagai sivitas akademik, mahasiswa diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional (pasal 13 ayat (1) UU No. 12 tahun 2012). Sedangkan hak mahasiswa dalam Perguruan Tinggi terdapat dalam hak kebebasan akademik (Pasal 9 ayat (1)), hak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai minat dan bakat (Pasal 13 ayat (4)), dan hak yang terkait dengan kondisi ekonomi mahasiswa seperti penerimaan beasiswa, pembebasan biaya pendidikan, dan pinjaman dana tanpa bunga (Pasal 76). Bahkan oleh pemerintah, status dan hak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam organisasi PTN sangat dibatasi, dan sangat terbuka kemungkinan hal tersebut masih merupakan dampak dari kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di tahun 1978 yang lahir untuk membungkam daya kritis mahasiswa. Lalu bagaimana mungkin mahasiswa dapat mengembangkan potensi diri, minat, dan bakat dalam bidang keilmuan jika mahasiswa hanyalah elemen pasif dari kehidupan Universitas?
Demokratisasi kampus tentu bukan sekedar soal transparansi penetapan kelompok penerima UKT, tata kelola perguruan tinggi yang baik dan akuntabel, maupun transparansi aliran dana dari mahasiswa ke dalam anggaran universitas. Kampus (Harus) Demokratis adalah kampus yang juga memfasilitasi seluruh kegiatan mahasiswa. Selama ini, ‘memfasilitasi kegiatan mahasiswa’ dirasionalisasikan hanya sebatas pemberian dana kemahasiswaan kepada tiap-tiap OPMAWA dan ORMAWA–sesuai pasal 77 UU No. 12 tahun 2012 bahwa organisasi kemahasiswaan sebagai wadah mahasiswa yang diakui hanya organisasi intrakurikuler–sedangkan kegiatan mahasiswa tidak sepenuhnya dapat difasilitasi oleh OPMAWA dan ORMAWA yang selama ini dianggap memegang separuh tanggung jawab ‘memfasilitasi kegiatan mahasiswa’. Apalagi kebijakan terakhir dari Kementerian yang dilaksanakan oleh UNJ adalah mengalihkan tanggung jawab penyelenggaraan masa pengenalan akademik (MPA) dari mahasiswa kepada dosen dan birokrasi kampus. Tentu saja kebijakan ini semakin mengkerdilkan peran mahasiswa dalam menjalani kehidupan di Universitas. Solusi yang akhirnya ditempuh beberapa mahasiswa yang ‘tidak terfasilitasi’ baik di OPMAWA maupun di ORMAWA adalah membentuk komunitas-komunitas yang memiliki basis dan karakteristiknya masing-masing. Lantas, apakah kelompok-kelompok komunitas ini tidak memiliki hak hidup untuk turut difasilitasi setiap kegiatannya?
Dalam mewujudkan cita-cita akan kampus (harus) demokratis, bukan hanya sistem pengelolaan perguruan tinggi saja yang harus kita ubah. Artinya, tuntutan tidak hanya harus dilayangkan kepada birokrasi kampus, melainkan juga kepada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sebagai penanggung jawab penyelenggara pendidikan tinggi. Selain itu, perlu ada evaluasi terhadap OPMAWA dan ORMAWA yang selama ini mendapat mandat (lewat dana kemahasiswaan setiap tahunnya) untuk memfasilitasi seluruh kegiatan mahasiswa. Prinsip keterbukaan (transparansi), partisipasi, dan demokrasi adalah tuntutan bagi kehidupan masyarakat madani, yang seharusnya diciptakan oleh Universitas. Maka jika mahasiswa menuntut keterbukaan, partisipasi dan demokrasi, tetapi mendapat respon negatif dari birokrasi kampus seperti pelarangan dan pengusiran hingga intimidasi, siapa yang sejatinya telah mencoreng cita-cita luhur Universitas dan Pendidikan Tinggi?