Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari hakikat kita sebagai manusia. Melalui pendidikan itulah nilai-nilai kemanusiaan tumbuh dan berkembang. Hal ini menjadi suatu keharusan karena pendidikan bukanlah sekedar teori melainkan praksis yang punya landasan dan tujuan. Meminjam istilah Jonh Dewey, pendidikan adalah proses tanpa akhir, proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental.
Melihat kondisi pendidikan hari ini, tentu tidak berlebihan jika menyebutnya sangat jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara, pendidikan sebagai penguasaan diri menuju pendidikan yang memanusiakan manusia. Ketika pendidikan mampu menumbuhkan penguasaan atas dirinya, maka manusia akan mampu untuk menentukan sikapnya.
Saat ini, pendidikan tak jauh berbeda dari apa yang dirasakan oleh Ki Hajar Dewantara di bawah kolonialisme, yang hanya membentuk pola pikir masyarakat untuk menjadi manusia yang mempunyai keahlian tetapi tidak memiliki kemerdekaan.
Fenomena menarik saat ini mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 65/PU-XXI/2023, yang memperbolehkan kampanye politik praktis di wilayah pendidikan. Putusan tersebut salah satunya beralasan untuk mengantisipasi apolitisme mahasiswa. Yang menjadi masalah hal itu tentu akan berdampak pada hilangnya esensi pendidikan, seperti yang sudah dicitacitakan sebelumnya.
Sebab, kondisi politik hari ini berbeda dengan kondisi politik pada era 1950-an, ketika partai politik rajin mengajak masyarakat terlibat aktif dan pendidikan politik yang disodorkan berbentuk gagasan-gagasan yang membangun kesadaran masyarakat. Yang terjadi kemudian, partisipasi masyarakat dalam politik tidak hanya menjelang pemilu lima tahunan.
Saat ini, kondisi politik cenderung elitis atau hanya segelintir orang saja yang dapat merasakan “politik kenegaraan”.
Lebih jauh lagi, antara kurun waktu tahun 1920-an, pendidikan politik dilakukan secara massif melalui surat kabar, sehingga tercipta kesadaran berpolitik masyarakat. Apolitisme yang terjadi hari ini, bukanlah takdir yang turun dari langit, ia adalah sebab tradisi politik di masa lalu yang saat ini abstain. Politik hanya dijadikan ruang yang ekslusif, dan penuh transaksional.
Periode emas dalam politik Indonesia seperti tahun 1920-an dan 1950-an merupakan bentuk kedekatan masyarakat dengan politik yang berkesadaran, sehingga rakyat memiliki hubungan kuat dengan partai politik, entah sebagai alat memperjuangankan nasib atau sebatas rasa memiliki partai. Misalnya, PKI membuat sayap organisasi massa disetiap sektor, di buruh memiliki Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI), petani dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), dan kesenian melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan lainnya dan sebaginya.
Melalui gerakan partai yang progresif dan dekat dengan rakyat, partai politik mampu menghasilkan kader partai melalui proses pendidikan politik yang tersistematis dan mampu memberikan jawaban rasional pada masyarakat, untuk perubahan nasib pada setiap sektor.
Melalui konsep ruang publik Jurgen Habermas, fenomena politik ekslusif itu dapat terlihat jelas. Bahwa politik masyarakat yang harusnya terbuka bagi siapa saja dan tidak berkonsentrasi terhadap kekuasaan dalam bentuk perintah yang memecah belah. Untuk itu, ruang politik harus menjadi ruang publik, agar bebas dari kendali pemerintahan sehingga opini publik dapat terbentuk untuk mencapai konsensus sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Seharusnya, ruang publik menjadi sebuah alam kebebasan interaksi-interaksi individu menyangkut persoalan publik yang dibahas sampai ke akar-akarnya.
Sehingga, ruang publik berfungsi sebagai mediasi antara urusan privat individu dihadapkan dengan tuntutan serta urusan sosial dan public, dengan tujuannya agar dapat memperoleh konsensus sosial. Dalam hal ini, ruang publik ditempatkan untuk membahas masalah-masalah publik sehingga pada akhirnya opini publik berpotensi mendatangkan perubahan.
Pola demokrasi deliberatif yang digagas oleh Habermas dalam upaya memanfaatkan ruang publik sebagai media keresahan yang bertujuan melahirkan opini kolektif untuk mengkritik pemerintah itu tidak dapat dijalankan apabila pendidikan memisahkan dari realita. Yang terjadi kemudian masyarakat terlepas dari kondisi lingkungannya, mempertebal sikap apolitis khususnya masyarakat kota dengan kehidupan yang heterogen dan menjunjung tinggi kepentingan pribadi.
Kekecewaan masyarakat atas kondisi politik inilah yang membuat apolitis, beberapa orang dikalangan terbatas menyebut kondisi macam ini dengan istilah “massa mengambang”. Sebuah kondisi tidak memiliki keyakinan atau imajinasi konsekuensi yang akan ditanggung kemudian hari.
Nah, dilakukanya kampanye politik dalam wilayah pendidikan adalah upaya menidurkan kesadaran masyarakat semakin lelap dan hanya semakin menyempitkan ruang yang humanis. Pendidikan akhirnya gagal merawat demokrasi dan menjaga kesadaran masyarakat dalam berpolitik, sebab kegiatan pendidikan memisahkan masyarakat dari realitas serta menghamba pada kebutuhan industry, kemampuan terampil yang diperlukan industri lebih berharga dibandingkan semangat bangsa dalam membicarakan nasibnya diruang politik.
Pada akhirnya fenomena kampanye dalam ruang pendidikan bukan lagi dipandang sebagai pendidikan politik, dengan kondisi masyarakat yang teromabang-ambing dan massifnya politik transaksional, membuat lingkungan pendidikan hanya dijadikan lahan politik praktis untuk membodohi masyarakat dalam meraup suara.
Hari itu akan segara telah tiba, kawan. Hari dimana keberpihakan dan kesadaran massa berpegang teguh pada perjuangan rakyat, pada penderitaan rakyat. Sudah saatnya kita sadar, kawan.
Ramli, Ketua Solidaritas Pemoeda Rawamangun (Spora), Basis FPPI.
sumber gambar: Kompas.com